Lihat ke Halaman Asli

Musfiq Fadhil

TERVERIFIKASI

Abdul Hamma

Penunggu Sumur Tua

Diperbarui: 11 Oktober 2020   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Aku nyaris tidak percaya air sumur tua di belakang rumah wanita renta itu bercampur dengan kucuran darah. Cahaya rembulan yang sayup-sayup dan tinggi besarnya tiga pohon randu itu sudah menghalangi mataku sampai tak bisa melihat dengan jelas seberapa bening warna air sumur itu.

Saat aku mengulur seutas tali katrol sumur itu, bunyi kecipak ember yang kudengar dari lubang sumur sama saja seperti air biasa. Pun ketika aku menarik katrol yang berdecit itu, tak ada yang beda. Gemericiknya sama seperti laiknya air biasa yang jatuh dari ember.

Rasa dingin di pori-pori saat kedua telapak tanganku meraup ember itu juga tak ada yang aneh. Air sumur memang terkenal lebih dingin, wajar bukan? Kejanggalan air sumur itu mulai terasa ketika aku membasuhkannya ke wajahku.

Pada basuhan pertamaku aku merasa air itu agak lengket menempel di kulit wajahku. Pada basuhan kedua, hidungku mencium samar-samar bau amis. Sepertinya ada yang tidak beres dengan air ini.

Kemudian aku memutuskan untuk mengurungkan niat membasuhkan wajahku untuk yang ketiga kalinya. Kukeluarkan hp nexian dari kantong jeans ketatku, kemudian dengan nyala senter hp itu aku mulai memeriksa kondisi air dengan seksama. 

Perutku langsung mual! Kutemukan air dalam ember itu bercampur darah yang sudah encer. Hueek! Tangan kananku reflek membuang ember itu kembali ke dalam lubang sumur. Dan plukkk!

Aku heran dengan bunyi janggal pada ember yang kujatuhkan itu. “Lho, harusnya kan byurrr? Kok bisa plukk?”  Kemudian aku sorotkan senter ke arah pedalaman lubang sumur yang gelap itu.

“Wedhus! Putih-putih apa kuwi?” Aku ragu apakah benar putih-putih yang kulihat di dalam lubang sumur itu merupakan burai-burai rambut beruban atau cuma tali rafia bekas yang warnanya sudah terurai.

Setelah kukatrol kembali ember itu ke atas, kulihat jelas kepala wanita renta pemilik rumah menyembul di permukaan. Wajah wanita renta itu berlumur darah mendongak ke atas dengan mulut terbuka dan mata yang terbelalak. “Wedhus, tenan! Kuaget!”

Aku berlari terbirit-birit kembali ke pos ronda memberitahukan kejadian itu ke bapak-bapak dan segelintir temanku yang masih asik bermain gaple sambil diiringi radio yang memutar lagu bujangan rhoma irama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline