Untuk Lusy Mariana Pasaribu
Kala cakar-cakar rembulan mulai menyelinap lewat celah-celah
Perempuan berwajah ungu termangu di depan jam pendulum kayu
Membiarkan kelopak-kelopak hatinya semakin layu
menyerahkan semuanya alum oleh serpihan debu-debu
Ia terbuai oleh rayuan sepi yang mendayu-dayu
Pada pucuk pendulum itu biji-biji matanya basah
Berayun-ayun dalam satu rima yang gelisah
Tak berhenti sampai sebongkah pandangannya terpecah-belah.
Pada detik dan detak jam pendulum itu daun-daun telinganya gugur
Merelakan jarum sunyi menikam satu lembar harapannya sampai hancur
Hingga dentang sepi berlarian ke segala penjuru rumah
Ia merelakan gerigi-gerigi hampa menindih masa depannya sampai runtuh.
Untuk apa Aku terus berusaha jika Aku sudah ditakdirkan untuk selalu kalah?
Untuk apa Aku terus panjatkan doa jika perwujudan harapanku tak pernah dituliskan?
Duhai Jam Pendulum, Aku lelah sekali.
Kala cakar-cakar rembulan mengoyak seisi perabotan rumah
Di hadapan jam pendulum kayu itu, Perempuan berwajah ungu memutuskan untuk menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H