Lihat ke Halaman Asli

Musfiq Fadhil

TERVERIFIKASI

Abdul Hamma

Septima Bulan September

Diperbarui: 13 September 2020   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Pavlo from Pexels (edited)

September Jingga

Senin pukul sembilan, gerimis turun tipis di irigasi yang mati suri.
Menyapa tiga ekor sepat yang terhimpit gabus dan bangkai tikus.
Tiga sepat terakhir itu nampak ceria balik menyapa.
Sirip-sirip koyak merdu berkecipak di genangan lindi.
"Gerimis, tiga menit lagi insang kami tak berfungsi"
"Gerimis, Dapatkah kau segera menjelma hujan?"
"Duhai gerimis, tolonglah. Kaulah penyelamat kami dari kematian"

Senin pukul sembilan lebih dua, matahari tak lagi bermalu-malu.
Jingga membara membakar mega-mega.
Pengharapan tak sempat terkabulkan.
"Maafkan aku, kawan"
"Jingga menahanku tuk jadi hujan
"
Gerimis memudar bersama sengal tiga sepat terakhir.
Amis kenangan larut dalam genangan.

Senin pukul sembilan lebih lima, di seberang irigasi.
Anak-anak bergerombol di bawah anyaman blarak.
Kepala mereka merunduk dua mata mereka membentuk kotak.
Siku dan dengkul mereka retak-retak.
Bibir-bibir kecil mereka riuh ria bersorak-sorak.
"Anjaaay! Damage-nya gak ngotak!"
"Yahaha! Hayuk attack lord slurr!"

September Magenta

Sepasang dara menari di gumpalan awan.
Dara jantan meliuk-liuk dari utara balik ke selatan.
Dara betina malu-malu mengepak dengan anggun.
"Puan, biarkan putih awan ini tahu bahwa aku mencintaimu"
"Tuan, biarkan putih awan ini tahu bahwa aku juga mencintaimu"
Gumpalan awan cemburu, putih tubuhnya perlahan membiru.
bara mentari berpadu, warna magenta terpicu.

Di permukaan bumi suara kendang sedang bersahutan
Sahut-sahut saling balas, kaca jendela bergetar keras
Kaki-kaki semut mendadak kebas
Sepasang manusia muda sumringah di atas pelaminan
Wajah jelita Sang wanita ber-paes ageng nampak memerah merona
Sang lelaki berbalut jangkep bersaku keris nampak bungah lagi gagah
"Setiap suap dulangan ini adalah kasih kita yang abadi sepanjang masa"

Di sudut tenda dalam naungan tarub,  suara isak lirih bersayup-sayup
Seorang perempuan berwajah biru tersedu-sedu
Biji-biji matanya tenggelam dalam kolam
"Seharusnya aku yang di sana, Mas"
"Sembilan tahun bersama, menjalin kisah bermandikan asa"
"Dan hanya karena weton yang tak senada, itu semua sia-sia?"
"Ingin rasanya kumatikan Rama-Biyungmu yang kolot itu, Mas!"

September Hitam

September masih sama.
Suara-suara masih tercekat oleh malam-malam yang pekat.
Kenangan-kenangan tangis itu masih tabu untuk diingat.
Jiwa-jiwa sepi itu masih melarat.
Lidah-lidah itu masih penjilat.
Pokok kita diminta tobat.
Ya sudah, kita tunggu saja di akhirat.

Ampun...
Ampuni hamba, tuan.
Ampun...
Ampuni hamba, puan.
Ampun, jangan didamprat.
Ampun, jangan terdamprat.
Ampun, asmaku kumat!

Pantura, September 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline