Lihat ke Halaman Asli

Darimana Para "Polisi" Mendapatkan Data Saya?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BARU saja saya turun dari mobil sekitar pukul 21.00 di rumah tadi malam, ibu saya tergopoh-gopoh memberikan handphone-nya kepada saya. Katanya, Om Wawan ingin berbicara kepada saya karena motor besarnya tertangkap polisi di depan Polres Jakarta Barat. Ibu memberitahu, dompet Om Wawan berisi STNK ketinggalan, dan perlu dibantu. Dalam pikiran saya, untuk apa Om Wawan menelepon kalau memang tertangkap polisi dan tidak membawa surat-surat lengkap? Tapi karena saudara, ya lebih baik saya tanggapi dengan baik.

“Ini Wawan Fa. Saya pakai nomor lain neh. Saya kena razia neh di depan Polres Jakbar,” terdengar suara Om Wawan.

“Kenapa suara Om agak bindeng?” tanya saya kepadanya. Saya sangat hafal dengan suara mulut Om Wawan karena memang saudara dekat. Hanya saja, saat itu suaranya agak sengau dari biasanya.

“Iya Fa, ini Om lagi pileg. Lagi gak enak badan. Tadi dari rumah terburu-buru, mau ke Pluit, dompet malah ketinggalan di rumah. Otomatis isinya ikut ketinggalan termasuk STNL, SIM, dan beberapa ATM,” jawab Om Wawan sambil terdengar suara seperti di pinggir jalan.

Saya memang memiliki saudara, dan saya memangil Om Wawan. Tempat tinggalnya tidak jauh dari komplek kami sekeluarga. Beberapa bulan lalu, motor saya memang dibeli Om saya itu. Akan tetapi STNK masih atas nama saya dan belum sempat balik nama. Pada bulan ini kebetulan jatuh tempo pajak sekaligus akan balik nama. Oleh karenanya, beberapa hari lalu beliau memang menelepon ingin meminjam KTP untuk proses baliknama. Karena saya masih sibuk di luar kota, rencananya minggu-minggu ini akan bertemu. Ketika semalam menelepon melalui nomor Ibu saya, dugaan saya berkaitan dengan rencana balik nama tersebut.

“Trus apa yang saya bisa bantu Om?” saya coba minta penjelasan.

“Gini. Ini saya minta tolong, motor Tofa yang dulu saya beli, kena tilang di depan Polres Jakarta Barat. Uang tilangan motor kata Polisinya bisa dititip untuk uang sidangnya,” jelas Om Wawan.

“Oiya? Baik sekali itu polisi?” saya menjawab sambil mencatat nomor telepon di layar HP, sekalian mengecek lokasi HP Om Wawan melalui bantuan teman yang punya alar trakcing. Nomor Om Wawan saya kirim via SMS menggunakan nomor saya yang lain. Syukurlah, lokasi ternyata betul, penelepon ada di sekitar Jakarta Barat, tidak jauh dari Mapolres. Karena berdasar posisi penelepon sudah benar di Jakarta Barat, saya pun mencoba memahami situasi itu.

Sejenak kemudian, Om Wawan menjelaskan bahwa sebentar lagi, melalui saluran telepon yang dia pegang, dirinya akan menghubung saya dengan Polisi di ruangan Polres. Tidak lupa, karena ini akan ditolong, maka Om Wawan berpesan agar apapun yang ditanyakan oleh Polisi, agar dijawab sebenar-benarnya. Sejenak kemudian, hubungan telepon pun tersambung setelah Om Wawan terkesan berjalan beberapa detik.

“Selamat Malam, ini Bapak Mustofa benar pak? Saya mohon ijin, nama saya Ipda Sulaiman, barusan mengadakan giat di depan Polres,” suara berat terdengar dari ujung telepon, khas bahasa polisi ketika sedang berbicara di pesawat handy talky.

“Siap Ndan, ada perintah?” jawab saya menyesuaikan.

“Mohon Bapak Mustofa ketahui, saudara Bapak bernama Wawan ini, apa benar ada hubungan darah dengan saudara?” tanya Si Polisi. Saya sudah sering berbicara dengan polisi, dan suara seperti ini memang suara khasaparat uniform coklat tersebut.

Karena memang itu Om saya, maka dari itu, pertanyaan-pertanyaan verifikasi pun saya jawab sebenar-benarnya. Saya memang khawatir beliau tidak bisa pulang. Jarak antara Mapolres ke Cileduk (rumah Om Wawan) cukup jauh. Apalagi malam itu sudah lebih dari pukul 21.00. Beberapa pertanyaan pun meluncur dan saya jawab dengan lancar. Mulai alamat rumah saya, kaitan hubungan saya dengan Wawan, jenis kendaraan yang dimiliki, plat nomor, bulan pajak, hingga warna motor yang sedang dijadikan barangbukti di Polres. Setelah selesai, Polisi itu kembali berbicara.

“Bapak Mustofa mohon ijin, karena ini motor surat-surat tertinggal, maka kami sengaja mem-verifiksi detail kepada anda agar kami dapat membantu saudara Bapak bernama Wawan agar bisa pulang membawa kembali motornya,”jelasnya. Mendengar alasan polisi, saya yakin sekali. Ini soal legalitas.

“Bapak Mustofa, jika mengacu pada UU Lalu Lintas, maka pelanggaran saudara Bapak bernama Wawan, adalah Rp. 750.000,- dan harus hadir di Pengadilan. Tetapi karena Bapak bersedia menjamin keaslian motor yang dibawa saudara Bapak ini, maka kami akan membantu agar tidak usah ke Pengadilan. Meski begitu, saudara Wawan harus membayar, namun tidak sebesar yang tercantum dalam UU,”jelasnya menyambung pembicaraan sebelumnya.

“Berapa besarnya Ndan, mohon diinformasikan,”saya mencoba mencari tahu besarannya.

“Bapak Mustofa, jika memang setuju dan bersedia menjamin, maka saudara Wawan akan kami minta hanya Rp. 450.000,- saja. Terimakasih Bapak Mustofa, dan dengan demikian telepon ini akan saya kembalikan kepada Wawan,”pungkasnya, sambil memanggil nama Wawan menggunakan suara keras sehingga terdengar dari HP di telinga saya.

Sejenak, kemudian terdengar di telepon, seperti suara-suara polisi yang sedang bercengkerama. Ada suara HT, suara sempritan, dan sebagainya terdengar lirih. Saya yakin ini di lingkungan kantor polisi.

“Fa, sudah selesai ya dengan pak Sulaiman?” kata Om Wawan pelan-pelan. Om Wawan ini mengaku sengaja bisik-bisik di telepon, karena tidak nyaman jika pembicaraan uang pengganti tilang didengar oleh polisi-polisi lain, maupun terdengar banyak orang yang sedang ada di kantor polisi.

“Intinya gini Fa. Dompet saya ketinggalan di rumah. Saya tadinya mau pinjam uang yang Rp. 450.000,- ke Tofa. Tapi saya nggak enak kalau kamu ke Polres karena ini sudah malam dan jauh kan?,” ujar Om Wawan.

“Trus bagaimana caranya?”tanya saya.

“Iya, tadi saya sudah ijin ke polisi untuk ke ATM, ternyata tidak diijinkan. Jadi, saya akhirnya nego sama polisi itu, katanya boleh diganti pulsa saja. Nanti saya minta tolong Tofa, untuk membeli pulsa senilai Rp. 450.000,- dan dikirim ke nomor pak polisi itu,”demikian penjelasan Om Wawan kepada saya. Masuk akal.

Sejenak saya menghentikan perbincangan, karena ada istilah “Untuk ke ATM” dari Om Wawan. Sejak awal, Om Wawan mengaku ketinggalan dompet, bahkan tadi katanya beberapa ATM ikut ketinggalan karena ada di dompet. Kenapa bisa membawa ATM saat ketilang? Meski begitu, saya positif thinking. Siapa tahu itu ada satu ATM terbawa di saku.

“Lho, Om Wawan kenapa dilarang ke ATM? Bukannya intinya polisi itu minta uang? Soalnya kalau pulsa, saya harus ke ATM juga. Misalnya sama-sama ke ATM, kan lebih bagus Om Wawan saja yg ke ATM?” Tanya saya serius.

Anehnya, Om Wawan tidak segera menjawab. Tapi saya mencoba terus khusnudzan. Berprasangka baik.

“Halo Om, coba deh minta ijin ke ATM lagi. Toh, kepergian Om Wawan ke ATM tidak akan berakibat hilangnya barang bukti motor?” saya mencoba meyakinkan Om Wawan.

“Wah, pokoknya ceritanya panjang soal ATM ini. Pak Polisi mintanya pulsa saja. Katanya di Polres sudah biasa begitu. Karena kalau transfer uang atau serah terima di Polres, nanti bisa dideteksi PPATK katanya. Bisa bantu Fa? Karena ini motor sedang diperiksa noka-nosinnya tuh sama Pak Ipda Sulaiman!” terdengar suara Om Wawan terburu-buru. Dugaan saya, dia ketakutan jika motornya tidak boleh diambil. Karena kasihan, saya akhirnya menjawab OK saya bantu.

Saya kemudian minta Om Wawan untuk menghubungkan dengan Polisi yang dimaksud. Setelah tersambung, si Polisi pun ingin memberikan nomor HP yang bisa dikirimi pulsa.

“Bapak Mustofa, mohon ijin sementara motor ini saya karantina di ruang barangbukti. Kunci saya pegang. Sesuai permintaan Pak Wawan, ini nomor telepon saya yang bisa dikirimi pulsa. Nomor nya 085281426666 atau 085343525536. Jika sudah dikirim, mohon ijin saya diberitahu per 1-1,” polisi menerangkan dengan detail.

Untuk memecah kekauan, saya mencoba bertanya hal yang dikira polisi saya tidak tahu.

“Itu maksudnya apa Pak per satu-satu?”saya bertanya, berpura-pura tidak tahu istilah kode di lingkungan kepolisian tersebut.

“Oh, maaf Bapak Mustofa. Itu maksudnya Bapak Mustofa bisa menghubungi saya melalui telepon,”jawab si Polisi. Mendengar itu, saya bilang OK saja.

Namun saya menjelaskan kepada polisi ini, bahwa sebelum saya kirim pulsa, saya mencoba bertanya kepada Bapak “Ipda” ini beberapa hal. Misalnya, yang ditilang ini jenis motornya apa, warnanya apa, buatan tahun berapa, dan atasnama siapa menurut pengakuan Om Wawan, dan seterusnya. Tapi anehnya Polisi ini kebingungan menjawab. Grogi.

“Halo Pak, apakah Bapak benar Ipda Sulaiman yang menilang motor Om Wawan? Kenapa tidak bisa menjelaskan motor yang barusan Bapak tilang?”

Aneh, tidak ada jawaban. Sepi. Entah apa yang sedang terjadi di sana, tetapi telepon tetap tersambung, hanya saja tidak ada suara. Beberapa detik kemudian, Om Wawan yang bicara.

“Wah, maaf Fa, Polisinya tersinggung. Dia marah tuh. Cepetan ditransfer pulsanya!” demikian Om Wawan mendesak saya.

Awalnya saya nyaris percaya. Polisi katanya suka marah dan tersinggung jika keinginannya tidak dipenuhi. Namun akhirnya saya benar-benar Curiga. Nah, untuk itu saya pun mencoba bertanya hal yang sama kepada Om Wawan. Misalnya motor yang ditilang ini jenis motornya apa, warnanya apa, buatan tahun berapa, dan atasnama siapa. Namun lagi-lagi Om Wawan ini terdengar bingung menjawab. Persis yang terjadi pada Polisi yang mengaku sebagai Ipda Sulaiman. Saya tidak tahu kenapa ini bisa terjadi?

Mumpung masih tersambung di telepon, sekaligus penasaran, malam itu saya mencoba bertanya hal pribadi kepada Om Wawan. Misalnya, siapa nama isteri Om Wawan. Dimana tinggal, nama lengkap Om Wawan siapa, nama Bapak Ibu Om Wawan siapa, berapa jumlah anak Om Wawan, dan di Pesantren mana anak-anak Om Wawan saat ini menimba ilmu.

Telepon bisu. Diam. Tak satupun bisa dijawab. Praaak! Telepon akhirnya ditutup dengan kasar. Setelah beberapa pertanyaan tidak terjawab, saya yakin ini penipuan. Beberapa menit kemudian, saya kirim pesan melalui BBM ke Om Wawan. Ternyata tidak segera dibales. Dibukapun tidak. Kemudian, saya menelepon isterinya Om Wawan, juga tidak diangkat.

Baru lima menit kemudian, ibu saya berhasil berkomunikasi melalui telepon dengan Om Wawan. Dari lomunikasi ini diketahui, pada saat kejadian, ternyata Om Wawan dan isteri beserta anak-anak sedang di rumah menonton TV. Nyaris saya kehilangan Rp. 450.000,- semalam, seandainya tidak hati-hati menerima telepon yang tidak dikenal. Ini benar terjadi. Sejak itu, saya berpesan kepada Ibu saya, agar tidak mudah mempercayai siapapun yang mengaku saudara jika menghubunginya melalui telepon.

Dari kisah nyata ini, ada satu pertanyaan mengganjal: darimana para penipu itu mendapatkan nomor ibudan mengetahui persis nama saya, bahkan tahu saya punya saudara bernama Om Wawan? Bagaimana kok suara Om Wawan yang palsu, bisa mirip dengan suara Om Wawan yang asli?.#

Salam

MUSTOFA B. NAHRAWARDAYA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline