Malam ini jam dinding terasa berjalan pelan menunjukkan lewat pukul 10 malam. Saya sedang duduk menyandarkan diri, sedikit merebah dengan airphone di kanan kiri telinga , mendengar alunan lagu-lagu cinta menghantar dalam lamunan panjang. Entah mengapa alunan nada cinta yang mengalun lembut mengingatkanku akan seseorang yang sangat gigih mengarungi rona dan roda kehidupannya, teringat ucapannya saat itu “ Must, kadang kala hidup ini terasa tidak adil namun kadang kala kita merasa sangat beruntung “.
Ucapan itu saat kami berdua melepas penat seperti hari-hari sebelumnya, tepatnya dipojokan taman kota di kawasan Kalibata. Saat itu, sore akan beranjak malam, warna merah semburat keunguan menghiasi langit yang mulai meredup, semilir angin menggeser daun-daun kiring yang berserakan di jalanan taman. Aku dan dia duduk berdua di kursi panjang yang catnya mulai kusam, aku masih diam saat dia menceritakan bagaimana harus hidup dan mempertahankan hidupnya.
Dengan memainkan asap rokok dalam tatapan mata yang menerawang, tiba-tiba “Hari ini begitu melelahkan” keluhnya .
“Kenapa” kataku sambil menyulut sebatang rokok untuk yang kesekian kalinya.
“Tiga orang dari lima orang klien ku seharian tadi cukup rewel ,namun yah lumayanlah, hasilnya bisa untuk menutup biaya rumah sakit ibuku hari ini“ katanya terus memainkan asap rokok, dan sekali-kali meminum kopi dalam cangkir plastik yang kami beli di warung pojokan jalan taman.
“Bagaimana kabar adikmu” mencoba aku mengalihkan perhatian, karena ku tahu, dia begitu sedih bila mengingat sakit ibunya. Ibunya telah terbaring lemah di rumah sakit umum daerah di kamar klas III sejak 6 bulan lalu, saat itu, dikala menyeberang jalan sebuah motor menyenggolnya , membuat tidak sadarkan diri untuk beberapa hari, dan vonis dokter mengatakan beberapa saraf di tulang belakang mengalami gangguan karena bergesernya beberapa sendi tulang belakang. Saat ini ibunya terbaring lemah tampa bisa menggerakkan kedua kakinya, dan selalu dalam pengawasan dokter , selain terganggunya saraf belakang, juga adanya keretakan tulang paru-paru membuatnya harus dibantu dengan alat pernafasan.
“Eemm” katanya sambil menghabiskan sisa batang rokok, “Dia baik, sepertinya tahun depan dia sudah bisa mendapat gelar sarjananya, untunglah dia mengerti akan keadaan ini, dia memang aku minta untuk berpikir pada kuliahnya saja bukan yang lain, walau sering dia meminta untuk ikut beekrja, hanya dialah harapan kami satu-satunya agar keluargaku tidak dipandang sebelah mata” katanya dengan nada sedikit pelan.
Aku diam mendengarnya, kulihat ada secerah keceriaan di wajah ayunya, wajah dengan mata bulat dan pipi yang bersih berhias rambut lurus sebahu, tidak salah bila banyak orang yang menaksirnya, walau akhirnya banyak pula yang mundur hanya karena mengetahui bahwa ada sejarah kelam dalam dirinya. Kejadian itu 13 tahun lalu saat dia masih awal berumur belasan tahun tanpa kuasanya dia dipecundangi 4 orang pemuda desa yang dipengaruhi alkohol, saat itu dia baru pulang sekolah seperti biasa dia harus melewati jalan sepi yang membelah kebun tebu, entah apa yang ada di benak 4 pemuda yang dia kenal baik sebagai kakak kelasnya, secara bergilir merusak martabat dan harga dirinya. 3 Bulan kemudian sejak kejadian pahit itu keluarganya selalu menahan aib karena perut putrinya makin membuncit. Aib itu membuat ayahnya meninggal dengan menjatuhkan diri di derasnya sungai yang membelah desanya. Sejak itu pula dia, adiknya yang baru merumur 10 tahun dan sang ibu dengan bekal seadanya merantau kekota. Hidup dalam ganasnya sebuah kota metropolitan dan mencoba bertahan dengan sekeping dua keping sang ibu bekerja sebagai tukang cuci pakean.
Sepuluh tahun telah berlalu , dan sejak 2 tahun lalu ibunya sudah tidak bekerja lagi, karena dia telah menjadi staff staff marketing dalam tim yang sama denganku, katanya, hasil kerjanya cukup menopang adiknya kuliah, dan juga merawat anak semata wayangnya. Namun keadaan berbalik kembali , sejak ibunya kecelakaan dan biaya perawatan yang sangat tinggi.
“Must” katanya, mengagetkan ku.
“Ya…” kataku menimpali dengan pelan.
“Kadang kala hidup ini terasa tidak adil, namun kadang kala kita merasa sangat beruntung dibanding yang lain” katanya dengan mata yang masih menerawang.
“Oh ya..” aku mencoba memaknai ucapannya.
“Ayu… “ kataku pelan, sambil menggeser duduk dan mencoba menatapnya, belum sempat aku berucap, dia telah menimpalinya.
“Iya must” katanya sambil menatapku juga, kulihat ayu wajahnya, membuat aku hampir tidak bisa berkata apa-apa, namun perasaan itu segera aku tinggalkan, karena ku tahu dia harus dengan lelaki yang bisa memberinya kedamean dan kecukupan materi untuk perawatan ibunya. Sedang aku walau sangat mencintainya, hanyalah seorang yang bisa bertahan untuk hidup dalam ganasnya ibukota. Walau hati ini tak kuasa menahan untuk mengucap cinta padanya. Aku selalu menatap wajah ayu-nya, ceria, sedih dan berpeluh bersama dalam kebersamaan untuk mencari dan melayani klien, mengitari ibu kota bersama, berdesak di padatnya bis kota, dan asal berteduh dalam guyuran hujan.
“Loh kok jadi diem” katanya sambil tersenyum.
“Yah …, rasa ketidak adilan atau rasa keberuntungan, itu hanyalah apa yang ada dipikiran kita” kataku sok menggurui, dia tersenyum mendengarnya. Dan saat itu lalu kami saling diam hanya memandang langit yang mulai hitam kelabu dengan kerlip-kerlip bintang menghiasinya.
Alunan nada-nada cinta masih mengalun merdu di airphone yang bertengger di kanan kiri telingaku, tiba-tiba terdengan bunyi nada dering, dan kubaca dilayar ponsel “Ayu”, kulihat pesannya , terbaca “bagaimana kabarnya must, aku saat ini hamil sudah berumur 3 bulan, doakan sehat dan lancar-ya?, anak dan ibuku juga dalam keadaan sehat saat ini , salam Ayu“, Aku tersenyum membacanya, syukurlah 2 tahun lalu gadis ayu itu disunting klien premium kami, seorang duda cukup berumur dengan 2 anak yang beranjak remaja, dan dia dan Ayu saling menyayangi. Tidak terasa 3 tahun telah berlalu saat aku mendengar dia berucap “kadang kala hidup ini terasa tidak adil, namun kadang kala kita merasa sangat beruntung”.
“Ayu…, kamu memang sahabat ayuku.” Kataku lirih sambil menikmati alunan nada cinta.
by must itjand
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H