[caption id="attachment_211981" align="aligncenter" width="493" caption="Sampul buku pegangan siswa pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas X SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep"][/caption]
Setiap masuk ke tahun pelajaran baru di sekolah, saya selalu berusaha memunculkan pertanyaan berikut: apa hal baru yang saya tawarkan untuk dibawa ke ruang pembelajaran di dalam kelas? Pertanyaan ini saya ajukan untuk diri saya sendiri terutama sebagai pengingat bahwa sebagai guru saya seharusnya terus mencoba melakukan hal-hal baru yang sifatnya pengembangan sehingga proses pembelajaran punya peluang yang lebih besar untuk menjadi lebih baik.
Jawaban seperti apa yang sebenarnya saya harapkan? Terus terang, saya sesungguhnya menginginkan jawaban yang relatif lebih jelas dan terukur. Maksudnya? Saya tidak terlalu mengharapkan jawaban-jawaban yang masih belum begitu jelas wujudnya dalam tingkat penerapannya. Misalnya, “Saya akan memperbanyak metode dialog dan diskusi di dalam kelas”; atau “Saya akan menyentuh unsur kecerdasan emosional dan spiritual siswa”; dan semacamnya.
Jawaban seperti ini memang terdengar bagus. Namun demikian, saya pikir jawaban semacam ini masih berjarak cukup jauh dengan ruang kelas. Kedengarannya masih mengawang-awang. Jawaban seperti ini, menurut saya, lebih cocok menjadi semacam visi (pembelajaran) yang mendasari berbagai bentuk nyata butir kegiatan pembelajaran lainnya yang lebih terperinci.
Tentu saja visi dalam pengertian seperti ini memang dibutuhkan. Akan tetapi saya sekarang tidak sedang mau memusatkan pembicaraan atau membahas panjang soal visi. Saya ingin bertanya hal konkret yang hendak dilakukan seorang guru di ruang kelas yang sifatnya baru dan belum dilakukan sebelumnya—paling tidak oleh guru itu sendiri.
Atas pertanyaan ini, apa jawaban saya tahun ini? Saya punya satu jawaban sederhana: untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas X di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, tahun pelajaran ini saya memilih 350 kosa kata dari dalam buku pegangan yang digunakan siswa untuk kemudian dibuatkan semacam kamus kecil yang ditambahkan pada buku pegangan tersebut. Saya memilih 350 kata yang kira-kira belum dipahami atau cukup asing bagi siswa. Ketiga ratus lima puluh kosa kata ini lalu dijelaskan artinya secara singkat. Penjelasan makna kata saya ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada beberapa lema, saya menambahkan muradifnya dari Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko.
Kosa kata ini akan menjadi bagian dari bahan pembelajaran di kelas. Artinya, siswa harus hafal dan paham. Terkait dengan hal ini, saya akan mengadakan penilaian untuk menguji hafalan dan pemahaman siswa. Penilaian atau ujian itu akan dilakukan secara berangsur dan berkala. Rencananya setiap sekitar tiga pekan.
Saya melakukan hal ini karena menurut saya penguasaan kosa kata adalah hal yang sangat mendasar dalam pembelajaran bahasa—bahasa apa pun. Penguasaan kosa kata adalah modal yang sangat penting untuk mengembangkan berbagai segi kemampuan berbahasa.
Saya teringat sosok guru Eugene Simonet yang diperankan oleh Kevin Spacey dalam Pay It Forward (2000), guru Ilmu Sosial yang suka menggunakan kosa kata baru di kelas dan menugaskan murid-muridnya untuk mencari artinya di dalam kamus.
Lebih jauh lagi, saya teringat Paulo Freire yang dalam Cultural Action for Freedom (1972)—yang membahas tentang filosofi mendasar praktik pendidikan dalam kaitannya dengan pendidikan sebagai praktik pembebasan—menulis: “The human word is more than mere vocabulary—it is word-and-action.” Freire menempatkan kata-kata dalam ranah yang radikal. Memahami kata-kata pada akhirnya adalah belajar mencermati hubungan manusia dengan dunia yang akan menjadi dasar dan pendorong baginya untuk melakukan perubahan.
Sesungguhnya ada landasan lain yang berasal dari ingatan saya saat saya mengaji tafsir di pesantren sekitar 20 tahun silam. Di bagian awal surah al-Baqarah, dalam kisah penciptaan Nabi Adam a.s., al-Qur’an menunjukkan bahwa kelebihan manusia (Nabi Adam a.s.) atas malaikat adalah penguasaan Nabi Adam a.s. atas kata-kata (asmâ’). Dalam ayat itu diterangkan bahwa Allah mengajarkan (semua) kata-kata (asmâ’) kepada Nabi Adam a.s. dan kemudian Allah menantang dan menguji malaikat terkait kata-kata tersebut. Dikisahkan bahwa malaikat mengaku kalah (Q., s. al-Baqarah/2: 31-33).
Di tingkat praktik, apa yang saya lakukan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Lebih 10 tahun lalu, saat saya mengikuti program English Extension Course di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam salah satu mata pelajaran, yakni Vocabulary, ada kamus khusus yang disiapkan pengajarnya untuk melengkapi buku pegangan yang digunakan di kelas. Kata-kata yang dipilih adalah kosa kata dari buku pegangan tersebut. Dalam satu semester, peserta kursus harus menghafalkan kosa kata yang berjumlah lebih dari 2.700 kata. Secara berkala, ada tes hafalan kosa kata—kalau tak salah setiap dua pekan.
Berdasar pengalaman saya mengajar di beberapa lembaga pendidikan di Sumenep, yang kebetulan semua berada di kawasan pedesaan, penguasaan kosa kata siswa, atau bahkan mahasiswa, relatif masih terbatas. Mungkin memang perkenalan, keakraban, dan kecintaan mereka pada bahasa atau kamus masih kurang—bahkan mungkin juga di kalangan guru-gurunya.
Yang sebenarnya ironis, saya kadang menemukan pengurus publik yang tidak paham dengan arti kata-kata tertentu sehingga tidak tertib dalam berbahasa. Ada catatan kakak sepupu saya yang menemukan bahwa polisi di Madura ternyata ada yang buta warna. Kakak saya itu menemukannya dalam sebuah dokumen kepolisian. Mereka tak bisa membedakan warna biru dan hijau—apakah ini terpengaruh kosa kata bahasa Madura? Beberapa waktu lalu saya sendiri pernah menulis kegagalan aparat polisi di Sumenep dalam memahami kata-kata dalam dokumen publik yang mereka buat sendiri sehingga berdampak sangat fatal.
Atas situasi yang terkait dengan pengurus publik ini, saya tak bisa berbuat banyak. Ini berada cukup jauh dari wilayah kewenangan saya. Yang bisa saya lakukan sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di sebuah SMA di pedalaman Madura adalah menyiapkan generasi yang mencintai bahasa. Atas keinginan atau visi tersebut, kali ini saya punya modal 350 kata yang saya harapkan bisa menjadi pendorong agar siswa mencintai bahasa dan terus mengembangkan berbagai potensi kebahasaan lainnya.
Oleh karena itu, setelah sebelumnya hanya dilakukan secara tidak tertata, akhirnya saya memutuskan untuk mendorong minat dan penguasaan siswa atas kosa kata secara lebih terencana. Jika pada tahun sebelumnya saya pernah menugaskan siswa untuk mencari arti kata-kata tertentu pada beberapa pertemuan di kelas, atau selalu membahas arti kata-kata yang dipandang cukup asing secara cukup panjang untuk setiap materi bacaan di berbagai pelajaran, sekarang saya ingin ada proses dan atau sasaran yang lebih terukur dan terencana.
Tiga ratus lima puluh kata mungkin jumlah yang terbilang sedikit. Namun, sampai di sini saya lalu teringat sebuah kutipan dari Bruce Barton dalam buku Stephen R. Covey yang sangat terkenal, The Seven Habits of Highly Effective People: “Sometimes when I consider what tremendous consequences come from little things.... I am tempted to think...there are no little things.” Kadang saat saya menyadari betapa dahsyatnya dampak dari hal-hal kecil... saya tergoda untuk berpikir... bahwa sebenarnya tak ada hal-hal yang kecil.
Sekali lagi, mungkin ini memang langkah kecil. Tiga ratus lima puluh kata jumlahnya tak besar. Karena itu saya menggunakan istilah “kamus kecil”. Tapi saya pikir saya menyusun kamus kecil ini dengan cinta—kecintaan saya pada bahasa, juga pada siswa-siswa saya. Dan saya yakin bahwa dengan landasan cinta, insya Allah hasil yang bakal terbit akan memiliki nilai dan kekuatan yang bisa jadi tak kita duga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H