Lihat ke Halaman Asli

Buku dan Pengalaman-Belajar Alternatif

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika saya ditanya tentang kekuatan paling besar yang dimiliki sebuah buku, maka pikiran saya akan terarah pada keterpautan buku sebagai simbol dari pengetahuan, ilmu, dan belajar. Tentu semua orang akan sepakat bila saya mengatakan bahwa buku adalah semacam kotak besar yang memuat khazanah pengetahuan yang berharga. Namun, lebih dari itu, buku menurut saya dapat menyediakan sebuah pengalaman-belajar alternatif yang sangat kaya makna. Pikiran tentang “pengalaman-belajar alternatif” dalam kaitannya dengan buku muncul setelah dalam beberapa tahun terakhir saya bergelut secara langsung dengan dunia pendidikan formal, yakni mengajar di SMA 3 Annuqayah di pedalaman Madura, tepatnya di Guluk-Guluk, Sumenep, dan merefleksikan pergulatan saya dengan buku sejak masa-masa kecil di sekolah dahulu. Dari satu sisi, saya memahami sekolah sebagai tempat yang menyediakan ruang dan kesempatan bagi para muridnya untuk mendapatkan pengalaman-belajar melalui berbagai proses kependidikan yang berlangsung di dalamnya. Dari pengamatan selintas dan kesan yang saya rekam sejauh ini dari berbagai pembicaraan dengan rekan-rekan guru dari berbagai sekolah, saya menangkap bahwa sekolah menghadapi banyak tantangan untuk dapat memberi pengalaman-belajar yang bernilai dan kontekstual kepada para murid. Di antara tantangannya, sekolah kadang terjebak dan sulit bersiasat dalam kekakuan sistem yang digunakannya sehingga kurang memberi ruang pada kreativitas dan improvisasi yang mungkin dilakukan demi memperkaya bentuk dan muatan nilai aktivitas kependidikan sebagai sebuah pengalaman-belajar. Di daerah pedalaman seperti tempat saya mengajar, tantangannya bisa juga berupa keterbatasan sarana pembelajaran, keterbatasan kemampuan guru, dan setumpuk masalah lainnya. Nah, dalam konteks aneka persoalan yang dihadapi sekolah sebagai ruang pengalaman-belajar, saya kemudian berpikir bahwa buku—yang, sekali lagi, sejajar dengan simbol pengetahuan, ilmu, dan belajar—sebenarnya dapat menjadi pengalaman-belajar alternatif bagi murid-murid di sekolah. Sebagai ruang pengalaman-belajar alternatif, saya mencatat bahwa buku menyimpan sejumlah ciri kekuatan yang sungguh luar biasa. Pertama, sebagai ruang belajar, buku merangsang pembacanya untuk menjadi pembelajar-mandiri yang aktif. Membaca buku menuntut pengaktifan seluruh potensi dan kekuatan komprehensi si pembaca untuk dapat menyerap poin-poin gagasan yang disampaikan. Lebih jauh lagi, sejak awal, ketika seseorang memilih sebuah buku untuk dibaca, dia sebenarnya telah secara aktif memulai proses belajar. Mentalitas pembelajar-mandiri ini sekarang terasa sangat penting ketika kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita hidup di zaman yang menyediakan berlimpah pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber yang begitu banyak dan cukup mudah diakses. Buku-buku, koran, majalah, akses internet, saat ini relatif telah cukup tersebar, jauh berbeda dengan pengalaman saya ketika duduk di bangku SLTA sekitar 15 tahun yang lalu. Sebagai pembelajar-mandiri, seorang pembaca buku juga dituntut memiliki karakter-karakter positif yang mendukung. Misalnya, dia harus menjadi sosok yang punya inisiatif. Aktivitas belajar yang dia lakukan dengan membaca buku digerakkan bukan terutama oleh orang lain, tapi atas dasar inisiatif yang tumbuh dari dalam. Selain itu, seorang pembaca buku sebagai pembelajar-mandiri juga harus memiliki sifat tekun. Menamatkan sebuah buku memang sering kali mengharuskan si pembaca untuk kuat menekuri kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, dan halaman demi halaman dari sebuah buku, mengikuti butir-butir gagasan pengarangnya. Kekuatan yang kedua, sebagai ruang belajar, buku mampu menembus berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh ruang belajar seperti di sekolah. Kurikulum, kebijakan pendidikan nasional, keterbatasan alokasi waktu, dan mungkin faktor-faktor teknis lainnya, menjadi tantangan yang bisa menghambat pemenuhan semangat keilmuan murid di sekolah. Sebaliknya, buku menyerahkan banyak faktor penentu ruang belajar kepada si pembaca, sehingga dia dapat lebih leluasa dalam memenuhi hasrat dan semangat keilmuan serta “keliaran” imajinasi dan kreativitasnya. Saya pribadi merasakan kekuatan buku sebagai ruang pengalaman-belajar alternatif ini. Pendidikan dasar hingga menengah saya dijalani di lingkungan Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, yang ketika itu, yakni mulai pertengahan 1980-an hingga 1997, masih memiliki keterbatasan dalam sarana dan aktivitas kependidikan. Namun demikian, kecintaan saya pada buku memberi saya ruang dan pengalaman-belajar yang sungguh membentuk banyak hal yang positif. Meski dahulu akses informasi, dan termasuk juga buku, di Pesantren Annuqayah pada umumnya relatif terbatas, tapi saya merasa, paling tidak, telah cukup berhasil menanamkan semangat kecintaan pada buku sehingga ketika kemudian saya berkesempatan untuk melanjutkan kuliah ke Yogyakarta dan lalu ke Belanda dan Norwegia, semangat dan kecintaan saya pada buku menemukan ruang pemenuhan yang seperti tak terbatas. Mengingat masa-masa saya di Yogyakarta, terutama di masa awal, saya betul-betul dapat merasakan betapa saya berusaha cukup keras untuk menempatkan buku sebagai surga bagi pemenuhan pengalaman-belajar alternatif dengan berbagai nilai dan kekuatan sebagaimana disebutkan di atas. Jika sebelumnya di kampung halaman di Madura saya cukup sulit mengakses buku, di Yogyakarta saya merasa cukup mudah menemukan buku bacaan yang cocok untuk memenuhi kehausan saya pada ilmu. Kenikmatan dan manfaat yang saya rasakan selama bergelut dengan teks-teks buku itu pelan-pelan akhirnya membentuk karakter pribadi yang terus mencintai ilmu dan menghargai pengetahuan, sehingga terus bisa menyemangati dan mendorong saya untuk tak berhenti menjadi pembelajar-mandiri. Saat ini, kembali hidup dan bergiat di kampung halaman di Madura, saya tetap merawat semangat dan kecintaan saya pada buku, karena saya tahu dan bisa merasakan bahwa buku akan membalas cinta saya padanya dengan banyak hal yang sangat berharga. Demikianlah. Kekuatan terbaik buku yang saya rasakan, singkatnya, adalah bahwa ia memberi saya butir hikmah berharga bahwa hidup itu adalah untuk belajar, tanpa batas usia, formalitas, ruang dan waktu. Dan dari buku-buku sejarah saya juga tahu, bahwa semangat seperti inilah yang menjadi mesin utama kemajuan peradaban. Tulisan ini bisa juga dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline