Mudik tahun ini adalah momen spesial. Setelah dua tahun dilarang sebab pandemi, kini Anda bisa kembali berjumpa dengan sanak saudara. Pertanyaannya, sekarang Anda berada di "peringkat" berapa?
Selepas berjabat tangan dan saling bertukar kabar, selanjutnya penilaian "peringkat" strata sosial biasanya dimulai.
Kendaraan yang dibawa, cerita seputar pekerjaan, kisah anak-anak biasanya menjadi kumpulan informasi yang akan menentukan "peringkat" di keluarga besar.
Hasilnya, sebagaimana rangking satu di sekolah, peringkat atas di keluarga besar juga akan memperoleh keistimewaan. Mereka lebih dihormati, disanjung dan didekati. Sebagai imbalannya, kontribusinya kepada anggota keluarga lain tentu saja diharapkan.
Amplop lebaran biasanya jadi yang paling ditunggu. Sepengetahuan penulis, tradisi ini masih tetap ada sampai sekarang. Tentu saja para pemilik peringkat atas diharapkan memberikan yang terbaik kepada anggota keluarga yang lain.
Lalu, bagaimana dengan pemilik "peringkat bawah" di strata sosial keluarga besar?
Dari sharing beberapa netizen, biasanya mereka akan cenderung dinomorduakan. Ada yang memperoleh cara berbicara dan bahasa tubuh yang kurang mengenakkan. Ada juga yang mendapat jatah beres-beres lebih banyak, atau pendapatnya kurang didengar ketika diskusi keluarga.
Semua hal itu bisa jadi membuat sakit hati. Event silaturahmi keluarga besar pun berasa kurang bernilai. Di event tahun berikutnya, mau datang enggan, mau tidak datang tidak enak. Serba sulit pilihannya.
Apakah fenomena ini wajar terjadi?
Sebagai manusia, wajar jika kita membandingkan antara diri sendiri dengan orang lain. Terlebih dalam event silaturahmi seperti lebaran. Mulai dari status pernikahan, anak-anak, pekerjaan dan lain sebagainya.
Jika penilaian "peringkat" adalah suatu hal yang lumrah, maka sikap meremehkan atau menomorduakan mereka yang "peringkat" nya di bawah adalah suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan.