Lihat ke Halaman Asli

Tradisi "Ruwahan" ...Kenapa Tidak?

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak terasa betul ternyata tinggal sebentar lagi masuk bulan Ramadhan. Duuuh senengnya. Tapi ... persiapannya bagaimana ni? musti check and re-check lagi ni ya?!.

Targetnya adalah selalu lebih baik dari Ramadhan tahun kemarin, kan? Harus itu! Perencanaan step by stepnya lalu bagaimana lho?

Naaah, kalau di Jawa biasanya ni ada tradisi Ruwahan untuk menyambut Ramadhan ... eiit, bener gak sih tradisi Ruwahan untuk menyambut Ramadhan?
Hmm, biar ga salah langkah, yuk kita tinjau dulu apa dan bagaimana sih tradisi Ruwahan itu? Lalu bagaimana posisinya dalam wacana Islam? Yuuuuk, mariiiii!

Ruwah adalah sasi atau bulan ke 8 dalam kalender Jawa, yg sistem penanggalannya memakai sistem peredaran bulan. Karena sama-sama memakai sistem penanggalan bulan atau Qomariyah, maka bulan ini pun jadi identik dengan bulan ke 8 dalam kalender Islam, yakni bulan Sya'ban. Identik, tapi tidak sama. Karena penanggalan Jawa berganti tanggalnya setelah lepas tengah hari bolong, atau setelah masuk waktu sholat Dluhur sekitar jam 13-14. Sedangkan dalam penanggalan Islam bergesernya tanggal adalah selepas terbenamnya matahari, atau sama dengan masuk waktu sholat Maghrib. Itu katanya almarhumah nenek saya dulu lho. CMIIW ya

Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti (1) suatu adat kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, (2) sesuatu yang dianggap bermakna baik atau luhur sampai dengan saat ini. Nah, demikian pula untuk tradisi Ruwahan.

Tradisi ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita dalam ajaran Hindu. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan / mandi. Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh-roh penunggu punden desa, roh nenek moyang dan para dewa.

Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah krn Allah SWT dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dsb.

Menyuplik dari yang disampaikan pak Ary Budiyanto dalam suatu makalahnya, "Kearifan tradisi Ruwahan", dalam ajaran para wali tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misal :

- tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kpd datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.

- tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yang shaleh kepada ortunya, sebagai amal yg tak putus2 (birul walidain).

- bersih desa, lebih menitik beratkan kpd kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline