Hukum pidana yang berlaku di Indonesia merupakan sebuah peninggalan hukum dari Belanda yang kehadirannya tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat pada saat itu, sehingga pemberlakuannya menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat dan negara, oleh karena itu, perlu adanya pembaharuan hukum pidana yang bersifat komprehensif.
Dengan dasar dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1946 tentang pembaharuan hukum pidana. KUHP Belanda yang merupakan sumber hukum pidana, bukanlah suatu sistem yang utuh karena didalamnya terdapat beberapa delik atau pasal yang dihapus, oleh karena itu, ada beberapa undang-undang diluar KUHP bermunculan yang didalamnya mengatur tentang delik-delik khusus dan peraturan khusus, namun keberlakuannya masih tetap dibawah kendali KUHP Belanda.
Pengaturan dalam hukum pidana merupakan sebuah ideologi hukum politik yang berkembang dan merupakan hal yang penting, artinya tatanan hukumnya di dasarkan pada pandangan politik.
Mengingat pelaksanaan hukum pidana tidak bisa dipisahkan dengan adanya KUHP yang merupakan bagian dari hukum positif di Indonesia, pelaksanaan pembaharuan hukum pidana yang menjadi suatu kesatuan politik hukum pidana, yang didasarkan pada hakikatnya bahwa politik hukum berkaitan erat dengan latar belakang dan kepentingan diadakannya politik hukum atau pembaharuan hukum.
Dalam pelaksanaan pembaharuan hukum pidana harus memenuhi pembaharuan hukum materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana. Maka apabila diantara ketiga hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya dan tujuan pembaharuan tidak akan tercapai sepenuhnya.
Tujuan utama dari adanya pembaharuan hukum ialah menanggulangi kejahatan yang bertumpu pada KUHP Belanda (WvS). KUHP yang dianggap tidak lengkap dan tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, KUHP yang berlaku juga bukan hukum pidana yang berasal dari nilai-nilai dasar, filosofik, politik, dan kultural yang ada di masyarakat Indonesia. Dalam upaya pembaharuan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan kebijakan hukum pidana yang terikat dengan kebijakan penegak hukum, kebijakan krimial, dan kebijakan sosial.
Upaya dalam pembaharuan hukum pidana yang bertujuan untuk menggantikan KUHP Belanda yang dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, salah satu bagian yang mendasar dari RUU KUHP 2012 adalah adanya perubahan fundamental dari asas legalitas yang dikenal dengan "Nullum Delictum Nella Poena, Sina Praevia Lege Poenali" yang menitik beratkan suatu tindak pidana hanya berdasarkan dengan undang-undang.
Dapat diketahui pasal 1 RUU KUHP 2012 , kriteria untuk menjadikan suatu perbuatan termasuk tindak pidana harus didasarkan pada hukum formil yaitu undang-undang dan hukum materiil yaitu hukum yang tidak tertulis. Oleh karena itu penjatuhan pidana harus bertolak dari dua asas fundamental dari hukum pidana yakni asas kesalahan yang masing-masing merupakan asas kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Dalam ketentuan pasal 2 RUU KUHP 2012 yang mendasarkan terhadap keadaan bangsa Indonesia yang terdapat macam-macam pluralisme yang merupakan bagian dari NKRI, semua aturan perundang-undangan yang bersifat rasional, mengakui adanya hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Politik hukum dalam pembaharuan hukum pidana IndIndonesia (RUU KUHP terhadap asas legalitas) hendaknya diiringi dengan kebijakan dan kewaspadaan, artinya jika suatu hal yang lebih terhadap dogma KUHP digunakan secara kaku atau tanpa kebijakan, maka yang akan dihasilkan tentunya dapat menghambat tujuan penegakan hukum pidana, bahkan kemungkinan menghambat ide-ide pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H