Sedikit menyimpang dari yang lagi ramai, tentang Indonesia yang positif didapati Virus Corona aka Covid-19, tentang hujan abu akibat erupsi Merapi. Terjadi hari ini juga, tentang Kampanye Khilafah di hari dimana ia diruntuhkan.
03 Maret 1924, Khilafah sebagai sebuah sistem runtuh. Setelahnya, hingga saat ini, ada sekelompok orang yang secara keras berjuang untuk menegakkannya kembali. Ini nyata, tak ada yang disembunyikan, apalagi secara masif ditunjukkan di media sosial. Mereka secara konsisten memperjuangkan itu, meski sebagian besar yang lain menganggapnya halu. Semacam kerinduan yang semu.
Dalam upaya mempertahankan semangat perjuangan itu, mereka memperingati hari keruntuhan khilafah, 03 Maret, meski sebenarnya adalah momentum untuk merajut kebangkitan kembali. Seperti yang terjadi di Jogja (sebagaimana di gambar, terdapat juga videonya) dan di beberapa daerah lainnya, misalnya. Mereka terang-terangan. Seperti merayakan cita-cita secara besaran, lalu menafikan realita di lapangan.
Jelas saja ini terkoordinir. Direncanakan. Termasuk bagaimana mereka memainkan isu tersebut di media sosial. Polanya sama: mengerahkan kekuatan untuk menciptakan persepsi kegagalan, kekacauan, kebusukan, ketertindasan lalu pada bagian akhir dari narasinya, akan ada tagline super ampuh dan mujarab yang kerap mereka jual, "Kami Rindu Khilafah", "Apapun masalahnya, Khilafah solusinya".
Penyokongnya? Organisasi-organisasi yang anti terhadap sistem yang disepakati dalam sebuah negara. Organisasi sosial-politik trans-nasional yang kerap bersembunyi di balik sebuah kegaduhan, lempar batu sembunyi tangan, memanfaatkan isu-isu sensitif, menyerang lawannya melalui isu yang terencana. Kerap menunggangi, tapi emoh bertarung dalam kontestasi politik resmi.
Boleh dikata, salah satu kecerdasan mereka adalah kecerdasan menunggangi. Menunggu momentum atau menciptakan isu sendiri, sesuka hati. Kecerdasan itu termasuk yang paling membahayakan karena mereka dengan mudah sekali melepas dan cuci tangan saat ada ketegangan tertentu yang dianggap riskan. Tak peduli ada korban atau sejauh mana konflik sosial bertebaran.
Sesekali, coba main ke twitter lalu lihatlah bagaimana mereka berjihad di media sosial. Mudah bagi mereka untuk membuat sebuah hastag menjadi trending topic. Kuat sekali, terutama ketika isu yang diangkat mudah membuat rakyat ikut terjebak, itulah kenapa isu yang digunakan selalu yang sensitif, lawan politik, dan isu ketertindasan. Emang iya mereka tidak pakai buzzer? Sebagiannya mungkin sistematis, sebagiannya lagi terbantu oleh kebiasaan share karena dianggap sebagai jihad.
Kita bisa berdebat panjang soal ini, tapi mari kita coba pikir berkali-kali. Kita sudah cukup nyaman hidup aman dan damai. Beribadah dengan tenang. Masih bisa menyelenggarakan Maulid Nabi, Tahlilan, Manaqiban, Haul, Pengajian Akbar, berkumpul dan berdiskusi dengan asik berapapun jumlahnya, dan relatif mudah menerima perbedaan, tanpa menyalah-salahkan apalagi mengkafir-murtadkan. Mereka itu, bahkan ikut menikmati kenyamanan yang ada di bangsa ini.
Tak cukupak ISIS menjadi pelajaran, tentang halu dan kerinduan semu? Semuanya soal kepentingan.
Saya teringat pada statement Dr. Mohamed Elhusseiny Farag, bahwa tujuan khilafah adalah untuk menyatukan. Namun konsep khilafah untuk saat ini sudah disalah-artikan. Bukan untuk persatuan, tapi ada kepentingan. Sulit untuk dihidupkan dan diterapkan konsep yang seperti itu kembali.
Kalau kita renungkan lagi, tak usah jauh berbicara soal khilafah, bagaimana caranya mempersatukan antara NU dan Muhammadiyah? Belum lagi dengan Syi'ah. Siapa yang pantas menjadi khilafah dan bagaimana cara menentukannya? Kalau khilafahya ternyata Wahabi, sampai mati pun orang NU tidak akan setuju. Begitu pula sebaliknya. Bagaimana cara menentukan "konsep dan prinsip Islami" sementara perbedaan adalah sebuah keniscayaan? Pada akhirnya, hanya akan ada masalah, bukan solusi.