Beberapa hari ke belakang, publik dihebohkan dengan "temuan" terkait anggaran yang tak penting dan tak masuk akal. Lem Aibon menjadi objek paling diperbincangkan karena jumlah anggarannya mencapai 82 miliar. Angka yang sangat cukup untuk membuat pabriknya sekalian.
Selain Aibon, ada angka-angka janggal lain yang kemudian ikut mencuat ke permukaan.
Terkait soal ini, sebenarnya bukanlah hal yang ngagetin banget. Pada masa Ahok, ada polemik soal UPS dan angka-angka siluman dalam anggaran. Termasuk kegeraman Ahok karena ada anggaran sebesar 500 miliar hanya untuk alat tulis.
Artinya? Persoalan angka anggaran yang kacau, mengejutkan, sekaligus "menyedihkan" itu adalah persoalan klasik yang terjadi dari dulu hingga sekarang. Sebuah kenyataan yang memperkuat, bahwa belum ada perubahan karena belum ada perbaikan. Terjadi berulang-ulang.
Tulisan ini ingin "menjauhkan diri" dari segala kegaduhan soal anggaran tak masuk akal yang secara legal-formal belum menjadi APBD karena proses yang akan dilaluinya masih panjang. Tulisan ini hanya ingin menjelaskan beberapa respons Anies Baswedan yang seharusnya tak perlu disampaikan dalam konteks dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pertama, Anies menyalahkan sistem e-budgeting dan kepemimpinan sebelumnya. Pernyataan Anies ketika menyoal keberadaan e-budgeting yang tidak smart serta sisa peninggalan kepemimpinan sebelumnya tampak asyik jika ditilik dari kebutuhan untuk "memberi pelajaran" bagi lawan politiknya dengan narasi yang khas dan lembut.
Namun dalam konteks dirinya sebagai pemimpin, membawa-bawa "keburukan" kepemimpinan sebelumnya sementara dirinya masih tetap menggunakan alat tersebut menjadi sesuatu yang aneh dan agak absurd terdengar di telinga. Yang tampak kemudian adalah sosok Anies yang melimpahkan kesalahan kepada orang atau pihak lain.
Kembali membawa kepemimpinan sebelumnya, secara politik juga merugikan. Kita tahu, bahwa pasca-Pilkada DKI Jakarta yang lalu, polarisasi yang terjadi tak pernah benar-benar selesai.
Melihat dari berbagai perbincangan, jelas sekali, bahwa yang tidak memilih Anies pada Pilkada lalu tetap tak beranjak. Tetap keukeuh berdiri di pihak yang kontra dengan Anies.
Sebagai pemimpin yang mestinya merangkul, pernyataan Anies yang kerap menyalahkan pemimpin sebelumnya membuat yang kontra dengannya semakin sakit hati dan merasa dikebiri. Padahal secara politik, kerja Anies sebenarnya hanya dua: menjaga yang telah bersamanya sekaligus ngopeni yang kemarin berbeda dengannya.
Ini penting jika Anies masih berkeinginan untuk maju lagi pada Pilkada DKI Jakarta 2022 nanti. Kalau tidak ingin maju, selesai. Lakukan apa yang ingin dilakukan. Tapi sepertinya tak mungkin Anies tak maju kembali. Bukankah sejak ia mengikuti Konvensi Partai Demokrat sudah jelas, bahwa tujuan politiknya adalah Presiden?