Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Ketika Kemenag dan Kemendikbud Menyalahi Rumus "Pakem"

Diperbarui: 26 Oktober 2019   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemenag.go.id/Okezone

"Mereka yang tidak menerima keputusan, bahwa Menag-nya bukan dari NU agak salah kaprah. Mestinya mereka lebih soft sebagaimana NU yang selama ini dikenal karena selera humornya yang tinggi. Gak usah kagetan. Menteri itu terserah Jokowi, tinggal nunggu reshuffle, nanti juga akan dapet. Mestinya mereka lebih santai. Bukankah acara bagi-bagi belum sepenuhnya usai?!"

Pasca pelantikan menteri, ada beberapa Kementerian dan menteri yang menjadi sorotan dan perbincangan hangat di tengah masyarakat, baik karena faktor kelayakan, kepantasan, kesesuaian, pengalaman, dan track record perjalanan karirnya.

Di antara yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah dua Kementerian yang, pada titik tertentu dan entah bagaimana bermulanya, seakan telah memiliki "pakem" tersendiri, yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Sudah menjadi rahasia umum seperti kesepakatan tak tertulis, bahwa Kemenag biasanya menjadi "jatah" NU, sementara Kemendikbud adalah "hak" Muhammadiyah. Tentu tak selalu begitu, tapi seringnya adalah rumusan dan "pakem" seperti itu.

Lalu, bagaimana kalau "pakem" itu "dilanggar"? Pada kondisi tertentu, tak ada masalah sebab dalam sejarahnya ada Menag yang Muhammadiyah dan ada juga Mendikbud yang NU. Menjadi masalah ketika menteri yang duduk di posisi keduanya adalah sosok yang dianggap sangat tidak tepat karena mau dirasionalisasikan seperti apapun, tetap tak sampai menyentuh syaraf otak. Tak masuk akal. Menurut sebagian orang, tentu saja.

Sebagaimana terjadi baru-baru ini, ketika jabatan Menag dipegang oleh sosok yang dianggap tak tahu menahu soal keagamaan, bukan NU, justru Jenderal Purnawirawan TNI sekaligus tokoh militer Indonedia bernama Fachrul Razi, yang dulu juga berperan dalam pemecatan Prabowo Subianto dari dinas kemiliteran.

Nadiem Makarim, menteri muda yang menduduki jabatan Mendikbud, juga tak luput dari sorotan. Ada yang bilang belum waktunya ia duduk di posisi sekelas Mendikbud dan lebih pas di Kemenristek karena latar belakangnya yang lebih cenderung pada dunia teknologi, riset, dan industri 4.0

Setidaknya menggantikan Bambang Brojonegoro yang lebih dianggap pantas oleh publik sebagai Menteri Bappenas karena sosoknya yang dianggap paling tahu dan paking paham jika Jokowi serius ingin memindahkan ibu kota.

Namun, respon Muhammadiyah terhadap Nadiem Makarim terlihat biasa saja. Kecewa, mungkin saja. Tapi tak ada respon berlebihan dan ekstrim yang berujung pada "ketidak-wajaran" sebuah institusi. Hal berbeda justru dilakukan oleh beberapa kader NU yang tampil "radikal" karena Menag-nya bukan dari NU, terlebih bukan santri!.

Bagi sebagian orang, respon dari beberapa kader NU dianggap berlebihan, termasuk "Jokowi akan kualat" dan tak mengundang Menag pada acara penutupan hari santri PWNU Jatim. Semacam "kegagahan" yang secara tidak tepat dipertontonkan di muka umum. Sosok-sosok yang pandangannya moderat pun ikut merasa sedikit keberatan dengan keputusan ini.

Tapi, kan, di Kabinet sudah ada Cak Halim dan Ida Fauziyah yang kader NU? Belum lagi mereka yang secara ritual keagamaan sangat NU sekali, meski secara kultural dan bukan struktural. Jadi harus yang mana dan seperti apa kader NU itu? Yang seperti Helmi Faisal, Maman Imanul Haq, atau mungkin Said Aqil Siradj, misalnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline