Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Puan Maharani Menjadi Ketua DPR RI, Pelaksanaan "Sejarah yang Tertunda"

Diperbarui: 3 Oktober 2019   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara Foto/M Risyal Hidayat

"... itu "Jatah" Puan Maharani Periode Sebelumnya. Tak Perlu Kaget!" demikian kata sebagian orang.

Netizen gaduh ketika nama Puan Maharani muncul sebagai Ketua DPR RI. Kegaduhan ini, selain karena bersamaan dengan momentum pelantikan, juga tak bisa dilepaskan dari sorotan rakyat terhadap DPR RI periode sebelumnya yang telah mengesahkan RUU KPK sehingga menciptakan gelombang arus demonstrasi mahasiswa dan pelajar dimana-mana, dengan intensitas "mengerikan" di beberapa titik peristiwa.

Saat DPR sedang menjadi sorotan lalu masih terjadinya demo besar-besaran menjelang pelantikan, munculnya nama Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI dianggap tidak masuk akal dan tidak proporsional, terutama oleh netizen yang kerap kali menjadi maha benar. 

Tidak aneh ketika Puan Maharani sempat menjadi trending topic di twitter, yang sebagiannya berisi apresiasi, dukungan, dan ucapan selamat sementara sebagiannya bernada minor, underestimated, meragukan, nyinyir dan mempertanyakan.

Padahal, sebenarnya tak perlu ada yang kaget ketika Puan Maharani, pada akhirnya, dilantik sebagai Ketua DPR RI 2019-2024, sebab selain informasi itu sudah lama terdengar, keterpilihan Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI mestinya sudah terjadi pada periode sebelumnya, 2014-2019.

Artinya, ketika itu terjadi sekarang, tak ada yang istimewa. Biasa saja. Hanya pelaksanaan dari "sejarah yang tertunda" saja.

Seperti kita tahu, bahwa pada periode sebelumnya, 2014-2019, terjadi pertarungan hebat di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pengusung Jokowi-JK versus Koalisi Merah Putih (KMP) pengusung Prabowo-Hatta.

KMP yang babak belur di eksekutif karena Jokowi-JK menjadi pemenang dibuat babak belur sebanyak 2 kali oleh KMP di legislatif dengan memenangi UU Pilkada (yang akhirnya membuat SBY turun tangan) dan UU MD3.

Undang-undang MD3 itulah yang kemudian membuat pemilihan Pimpinan DPR RI diajukan melalui sistem paket, bukan lagi melalui sistem proporsional. Posisi ketua tak lagi secara otomatis "diberikan" kepada partai pemenang.

Jelas, PDI-P sebagai partai pemenang ketika itu meradang. Puan Maharani sebagai Ketua Fraksi PDI-P, melakukan lobi-lobi politik, termasuk upaya menemui SBY yang mentok karena tak ada respons. PDI-P dan koalisinya, akhirnya memilih walk out dan tak bertanggung jawab terhadap hasil paripurna.

Butuh waktu sekitar dua bulan lebih untuk mendamaikan kedua kubu melalui revisi kedua atas UU MD3. Pada akhirnya, justru beberapa partai pendukung KMP berhasil dirayu dan menyebrang ke koalisi KIH; tentu dengan kompensasi jabatan-jabatan sekelas Menteri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline