Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Suporter Madura United dan Ekspresi Cinta yang Salah

Diperbarui: 6 Agustus 2019   01:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sport.detik.com

Sebelum ke Madura, kita pergi ke Eropa sejenak untuk membicarakan sedikit soal rasisme dalam sepak bola.

Rasisme (termasuk juga vandalisme, anarkisme) dalam dunia sepak bola tetap menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai. Bahkan di Benua Biru sana, tempat sepak bola berkembang, maju, profesional dan dijadikan "kiblat" bagi sepak bola negara lain di dunia, rasisme tetap menjadi momok yang menakutkan.

Slogan-slogan anti rasis seperti Say No To Racisme, No Racism, United Against Racism, Kick Out Racism From Football dan bendera Fair Play yang selalu dikibar-bentangkan tiap pertandingan kerap kali hanya menjadi pemanis tontonan.

Term rasisme hanyalah simplifikasi dari penolakan atas perbedaan yang sifatnya biologis dan alamiah, sebab rasisme tidak hanya berbicara ras (warna kulit) manusia saja tapi juga etnis, status sosial, agama, keyakinan dan kepercayaan, bahkan preferensi politik tertentu, sebagaimana pandangan Rulfhi Pratama. Dalam bentuknya yang paling liar dan banal, rasisme adalah pengingkaran terhadap segala perbedaan.

Adalah Jean Marie yang sempat menghebohkan ketika memberikan komentar, bahwa sepak bola Prancis tidak pantas dihuni oleh pendatang. Padahal, diakui atau tidak sejarah mencatat, bahwa keberhasilan Timnas Prancis selalu ditopang oleh para imigran, dan puncaknya ketika dengan african majoritynya, Prancis menjuarai Piala Dunia 2018.  

Samuel Eto'o juga pernah menjadi korban rasisme beberapa klub sepak bola Spanyol. Di Italia, ada Lazio yang dikenal sebagai klub sepak bola paling rasis. Aron Winter menjadi korban. Ia mendapatkan cemoohan menyakitkan ketika disebut "Yahudi Negro". Suporter Chelsea menyanyikan lagu rasisme yang mengandung unsur Islamophobia dengan menyebut Mohamed Salah adalah pengebom.

Serupa dengan Pierre-Emerick Aubameyang yang dilempari kulit pisang oleh suporter Tottenham Hotspur, Danil Alves pernah mendapatkan hal serupa. Ia dilempar pisang, sebagai simbol makanan kera, oleh suporter lawan. Sementara di dataran Jerman, Mesut Ozil, mendapatkan perlakuan berlebihan dari suporter yang cenderung mengarah pada silent racism.

Tak hanya suporter, beberapa pemain bahkan menjadi pelaku rasisme di lapangan. Kita, tentu saja masih ingat bagaimana perilaku rasis ditunjukkan oleh Suarez (saat masih di Liverpool) terhadap Patrice Evra (termasuk ketika Phillip Gannon, suporter Liverpool, menirukan gerakan monyet padanya). Patrick Viera juga pernah menjadi korban rasisme verbal dari Sinisa Mihaljovic dengan sebutan "black shit".

Bagaimana respon penerima laku rasisme? Zen RS dalam Simulakra Sepakbola-nya menjelaskan dengan menarik bagaimana pemain menghadapi rasisme yang menimpanya.

Respon Dani Alves barangkali termasuk yang unik dan nyelekit. Ia melawan rasisme dalam bentuk mimikri (peniruan) dengan cara memakan pisang yang dilemparkan.

Perlawanan elegan juga dilakukan oleh Ozil dengan memundurkan diri dari Timnas Jerman, ketika loyalitas dan pengorbanannya untuk negara dipertanyakan dan ia dianggap "kurang Jerman". Statementnya yang menohok adalah "Apakah ini (terkait dengan) Turki? Apakah karena saya Muslim?" dan "Saya orang Jerman ketika kami menang, namun dikatakan imigran ketika kami kalah,". Ozil memilih pergi, saat apa yang dilakukannya serasa tak dihargai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline