Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Tagar Twitter #JakartaBanjir: Ada "Yang Salah!" dengan Ahok

Diperbarui: 23 Februari 2017   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Kalau merujuk pada trending di twitter, #JakartaBanjir yang sempat merajai, mulai tergantikan oleh #JakartaSurut. Tapi, apapun yang terjadi di dunia mayantara, tema tentang banjir tetaplah menarik. Menarik karena ternyata, tidak sesuai dengan prediksi dan sesumbar banyak orang yang awalnya jumawa dan bangga, lalu berganti menjadi term“sukses mengatasi banjir”. Jakarta tetap banjir, dan hingga sore ini, banyak titik banjir yang masih belum surut. Itulah kenapa judul tulisan ini diawali dengan #JakartaBanjir.

Kalimat Ada “Yang Salah”, terinspirasi dari cuitan Budiman Sudjatmiko di twitter ketika mempertanyakan kondisi Jakarta yang tak banjir saat musim hujan. Penggunaan tanda petik pada “Yang Salah”, tentu mempunyai makna yang berbeda. Bukan benar-benar kesalahan, tapi anggap saja sebuah “pujian”. Tentu saja buat Ahok, yang telah bekerja (anggap saja begitu), dan tulisan ini hanya ingin menjelaskan, bahwa memang benar-benar ada yang salah (tanpa tanda petik) ketika Jakarta masih saja banjir.

Lalu, apa saja yang salah itu?

Pertama, kalau Jakarta masih banjir, siapapun gubernurnya tetaplah patut disalahkan. Artinya, ada satu tugas penting yang tak diselesaikan ketika menjabat. Banjir adalah persoalan penting yang menjadi tema penyelesaian masalah pelik di Jakarta. Bahkan kalau mau sedikit hiperbolis, gubernur Jakarta yang sukses adalah ia yang bisa menyelesaikan banjir, karena sifatnya tahunan. Simplifikasi seperti ini tentu tak beralasan, tapi jika dibandingkan dengan macet yang terjadi setiap hari, pemerintah masih bisa mengambil nafas dalam waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan persoalan banjir.

Tulisan ini tidak untuk menjelaskan apa saja teknis yang tidak dilakukan, karena pemerintah DKI Jakarta sudah “kenyang” dengan segala teori dan cara-cara teknis untuk mengatasi banjir. Ketika itu tidak dilakukan, maka harus diakui ada yang salah (tanpa tanda petik).

Kedua, Ahok jelas salah ketika ia sesumbar untuk sesuatu yang tidak benar-benar diselesaikannya dengan benar. Ia begitu yakin Jakarta tidak akan banjir, bahkan ketika hujan lebat mengguyur sampai 3 malam. Kalau banjir, Ahok memastikan akan surut dalam sehari. Tapi faktanya, apa yang terjadi hari ini benar-benar meruntuhkan sesumbarnya. Jakarta tetap saja banjir, dan dalam sehari, ada begitu banyak titik yang belum surut. Beberapa kawasan memang surut, lalu diviralkan sedemikian rupa menjadi #JakartaSurut. Sementara kawasan yang tidak surut, mereka melihatnya dari menara gading atau puncak Monas dengan menggunakan sedotan es teh manis.

Ketiga, akhirnya kita tahu, bahwa ada yang salah dengan berita indah tentang kota Jakarta. #MemotretJakarta sungguh indah hasilnya. Tapi sayangnya, ia tidak memotret Jakarta yang alpa memuat foto-foto “menyedihkan” tentang Jakarta. Ada Pluit dan Kalijodo yang telah disulap. Ada sungai-sungai yang meliuk indah di gambar. Tapi, #MemotretJakarta harusnya dilaksanakan saat ini, ketika sebagian wilayah di Jakarta kebanjiran. Memotret dengan cara terbaik, bukan dari lensa yang dipasang di puncak bangunan pencakar langit, sehingga Jakarta tampak indah, jauh melampaui realitasnya.

Keempat,ada yang berlebihan ketika persoalan banjir dianggap telah selesai, terutama oleh para pendukung, pemuja, dan mungkin pasukan robot Ahok di media. Apalagi itu diikuti dengan sesumbar berlebihan, yang mengesankan Jakarta tak akan menderita (lagi) karena persoalan banjir. Ketika takdir berkehendak, semuanya sepi dan senyap. Mungkin saja, lamat-lamat dalam hati mereka yang dalam, mereka berkata, memang ada yang salah dengan semua ini. Semoga saja.

Tentu saja, tulisan ini bukan simplifikasi kesalahan yang dilakukan oleh Ahok dan para pendukungnya dalam menyikapi persoalan banjir yang ternyata masih terlalu “berkuasa”, dan bukan pula untuk mencari-cari kesalahan yang ada. Tulisan ini hanya untuk menjelaskan, bahwa pemimpin (termasuk pendukung dan pemujanya) tak bisa sesumbar dengan sesuatu yang tak benar-benar telah diselesaikan. Itu sebuah kekeliruan dan kerancuan berpikir yang “akut”, terutama ketika persoalan tidak terselesaikan, warga-lah yang justru disalahkan. Aneh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline