Lihat ke Halaman Asli

Mulai Oktober 2009, Madina Akan Ditiadakan dari Muka Bumi

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika Anda pergi ke penjual-penjual koran, tabloid dan majalah di pinggir jalan, atau malah di toko buku, apakah sering Anda memperhatikan jenis tabloid dan majalah yang mereka jual? Kalau menurut pengamatan saya, paling banyak adalah tabloid dan majalah selebriti dan gosip. Isinya adalah bentuk cetak dari seluruh acara entertaintment news yang mengisi acara televisi dari pagi, kalau bukan subuh, sampai malam. Lebih buruk lagi kalau penjualnya berdiri di lampu merah jalan-jalan di Jakarta. Saya pernah naik taksi dan ditunjukkan playboy berbahasa Inggris. Belum lagi tabloid dengan sampul bergambar syur yang tidak akan di temui di toko-toko buku seperti Gramedia, Trimedia, Karisma, atau MP Point.

Simpulan saya adalah, majalah jenis itu yang paling laku. Maka jangan heran jika tabloid ini yang tumbuh subur di Indonesia tanah air tercinta. Itu mungkin pula yang menjadi dasar keekonomisan sehingga majalah Playboy Indonesia berani terbit disini. Saya agak kesusahan mencari majalah sepeda, salah satu hobi saya, di Balikpapan. Tapi mencari tabloid dan majalah Popular, FHM, Girls, Bintang, Nyata, dan teman-temannya yang tidak mungkin saya hapal satu persatu, amatlah mudah. Saingannya hanya majalah fashion dan yang behubungan dengan "rahasia umum" lelaki dan perempuan. Tetapi jenis-jenis tabloid dan majalah itu kan "setali banyak uang", namanya saja beda tapi isinya banyak yang sama.

Akhirnya saya yang lebih senang membaca majalah yang berbau jurnal dan berisi artikel atau opini yang memberikan pelajaran, merasa agak kesulitan. Apatah lagi majalah agama yang seirama dengan nature saya. Untung saja ada majalah berita sejenis Tempo atau Gatra yang punya opini-opini cerdas; atau tabloid dan majalah yang berbau komputer (kebetulan saya juga suka). Ada juga sih beberapa majalah agama, tapi lebih banyak ke kanan, atau sangat kanan. Bahkan ada di antaranya yang lebih banyak menyebar kebencian menurut saya. Padahal saya butuh majalah agama yang pertengahan, yang netral dan toleran. Dulu saya sempat menjadi pembaca loyal Ulumul Quran terbitan LSAF, juga majalah Ummat. Sayang keduanya sudah almarhum.

Tapi alhamdulillah, 20 bulan lalu terbit majalah Madina. Saya mengenalnya tidak sengaja, itupun sudah di edisi ketiga. Waktu itu saya membeli roti di Valda, salah satu minimarket di sekitaran Balikpapan Baru, Balikpapan. Ketika melihat-lihat majalah, saya melihat Madina. Saya memang sering membeli majalah komputer di situ.

Karena penasaran melihat namanya yang baru, apalagi slogannya yang menantang, "a truly islamic magazine", saya minta izin kepada penjual untuk membuka plastiknya. Di box redaksi dkk, saya melihat beberapa nama yang saya sudah kenal baik. Saya langsung membelinya. Di rumah, saya membacanya sampai habis, seperti orang yang minum setelah pulang kehausan.

Akhirnya setiap bulan saya menunggu kedatangannya. Walaupun saya sudah tahu bahwa di Balikpapan datangnya setelah pertengahan bulan, sebelum tanggal 10 saya sudah cari di Valda. Pernah suatu waktu saya tidak menemukannya di Valda, saya carinya kemana-mana. Saya lalu menemukan di samping Valda, penjual tabloid majalah yang juga jual vocer simpati.

Suatu waktu, sudah tanggal 30 saya tidak menemukannya di seluruh tempat yang saya datangi di Balikpapan. Saya cemas Madina sudah wafat. Tapi kok tidak pamit ya? Waktu itu edisi Laskar Pelangi.  Tanpa sengaja, saya menemukannya di penjual majalah di Terminal Rasa Klandasan Balikpapan awal bulan berikutnya. Beberapa bulan terakhir, saya selalu membeli Madina di penjual majalah lantai 2 Hypermart Balikpapan.

Bagi saya, Madina adalah majalah Islam yang baik. Isinya mengajarkan keseimbangan. Tidak salah jika tahun kedua Madina memilih tag yang baru, "Terbuka, Bijak, Mencerahkan". Tentu ada-ada hal-hal dimana saya tidak harus setuju, tetapi overall isinya benar-benar mencerahkan. Madina setidaknya berusaha mengambil jalan tengah. Saya yakin, pasti ada pula komunitas Islam yang akan menyebutnya jaringan Islam liberal, sebagaimana yang diakui oleh redaksi suatu waktu. Tetapi bagi saya, kehadiran seseorang di suatu tempat tidak mungkin disetujui semua orang.

Di bulan September 2009, saya membeli Madina di Valda, tanggal 16. Seperti biasa, saya langsung membaca isinya. Itu yang lebih penting buat saya. Saya memang agak jarang membaca daftar isi, juga pengantar redaksi. Saya agak to the point. Tetapi di hari lebaran 20 September 2009 kemarin, istri saya tiba-tiba bertanya, "Pua', Madina tidak akan terbit lagi ya?" Saya tentu yang kaget. "Kok bisa?" Istri saya menyodorkan halaman 5. Disana redaksi mengatakan, "Kami, Keluarga Madina, Mohon Pamit". Mulai Oktober 2009, Madina tidak akan terbit lagi.

Saya sedih sekali, benar-benar sedih. Kesedihan itulah yang memaksa saya membaginya di tulisan ini. Jika mau jujur, saya remuk ditinggalkan oleh dua hal di 1 Syawal 1430 tahun ini: ramadhan dan majalah Madina. Mungkin berlebihan, tapi saya jujur. Sayang sekali, majalah yang baik ini harus berhenti hanya karena satu alasan: bisnis. Tetapi begitulah keadaannya. Karena Madina juga adalah produk bisnis walaupun saya tahu para pengelolanya ingin menyampaikan pesan yang baik kepada para pembacanya, ia tidak akan bisa mengelak dari hukum bisnis itu. Madina harus mati karena dia tidak laku. Bisa jadi para pengelolanya "tidak maksimal", tapi saya yakin mereka tidak main-main. Dan yang paling menyedihkan, tidak ada yang bisa saya marahi karena "kegagalan" ini.

Saya menimang-nimang Madina edisi terakhir ini. Lalu saya membayangkan majalah-majalah gosip itu bertambah-tambah, beranak pinak seperti cendawan di musim hujan. Saya membayangkan sampul-sampul vulgar di tabloid dan majalah.  Dan mungkin minggu depan akan terbit tabloid dan majalah baru, Popular 2, Popular 3, Playboy 2, Playboy 3, dan kawan-kawannya. Ya, majalah-majalah seperti itulah yang kita butuhkan di Indonesia, agar kita bisa belajar keterbukaan dan kebebasan pers. Masyarakat Indonesia memang sangat membutuhkan majalah-majalah entertainment itu, agar mereka bisa merasa enjoy dan entertained sehingga bisa meningkatkan etos kerja yang lebih baik. Kita perlu majalah-majalah seks, agar setiap pasangan suami istri bisa mengharmoniskan kehidupan rumah tangga mereka sebagai pilar komunitas bangsa. Mungkin juga diperlukan oleh anak-anak remaja kita, agar mereka bisa mengenal alat-alat kelamin, seks yang "aman", posisi-posisi bersetubuh yang mengenakkan, sebelum mereka menikah. Mungkin itu penting, agar mereka tidak mengecewakan pasangannya nanti.

Kepada crew Madina, terima kasih karena sudah pernah hadir. Saya menghargai kerja keras kalian selama 20 bulan. Idealisme memang harus hidup kawan, tapi dia juga harus punya pupuk. Saya berharap Madina bisa hadir lagi dalam bentuk yang lain.

Balikpapan, 2 Syawal 1430H/21 September 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline