Lihat ke Halaman Asli

Mussab Askarulloh

Sastra Indonesia

Ekspansi Budaya Indonesia: "Dangdut Dahulu, Bahasa Kemudian"

Diperbarui: 5 Februari 2021   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya pernah bekerja di Badan Bahasa sejak 2017 hingga akhir 2020. Selama bekerja di sana, saya selalu mendengar slogan seperti "Utamakan Bahasa Indonesia" atau "Utamakan Bahasa Negara". Atau yang lebih politis seperti "Internasionalisasi Bahasa Indonesia". Namun, rasanya kita bisa bersepakat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saja belum punya sikap positif pengutamaan bahasa Indonesia itu. Apalagi sampai internasionalisasi. Bukan bermaksud pesimistis, namun saya rasa strategi internasionalisasinya perlu sedikit pembaharuan. Sebagian contoh nyatanya, silakan buka situs-situs atau aplikasi pencari kerja. Anda akan menemukan hampir seluruh pengumuman lowongan pekerjaan di sana menggunakan bahasa Inggris, termasuk keterangan persyaratan, kualifikasi pelamar, bahkan sampai istilah-istilah posisi yang dibutuhkan. Betul, saya mengetahui hal ini karena sedang mencari pekerjaan.

Padahal, pemerintah sudah membuat kebijakan yang jelas mengenai pengutamaan bahasa Indonesia yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Tetapi, peraturan tinggallah peraturan. Sikap positif pengutamaan bahasa Indonesia itu tetap tidak akan tumbuh jika tidak dibarengi dengan rasa bangga terhadap identitas bangsa sendiri. Meski begitu, kita juga tidak bisa serta merta menghakimi. Setiap orang Indonesia yang ditanya tentu akan menjawab bangga beridentitas sebagai orang Indonesia, meskipun dalam kesehariannya ia tidak mengutamakan bahasa Indonesia. Lalu, apa sebenarnya masalahnya?

Jawaban yang paling mudah dan paling umum tentu saja untuk mengikuti kebutuhan ekonomi global. Bahasa Inggris dianggap lebih fleksibel, universal, serta mampu mencakup dan menjawab kebutuhan global. Apalagi dengan semakin banyaknya investor asing yang masuk ke Indonesia dan membuka perusahaan-perusahaan multinasional. Hal itu menuntut sumber daya manusianya untuk mampu mengimbangi internasionalisasi tersebut dengan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni.

Iitu memang tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Beberapa raksasa ekonomi modern seperti Cina, Jepang, atau Korea Selatan bisa tetap memutar kencang roda ekonominya dengan tidak meminggirkan bahasa negaranya. Bahasa asing, atau bahasa Inggris, hanya dipakai seperlunya dan pada keadaan-keadaan tertentu saja. Barangkali boleh dikatakan bahwa negara-negara tersebut merupakan contoh yang baik dalam sikap positif pengutamaan bahasa negaranya.

Selain bahasa di ruang publiknya sendiri, beberapa negara yang baru disebutkan di atas bahkan terbilang sukses dalam melakukan ekspansi budaya secara global. Menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia---tidak terkecuali Indonesia---untuk ikut menjadi konsumen setia atas produk-produk budaya yang mereka ciptakan. Perhatikan bagaimana sekarang kita telah begitu akrab dengan produk-produk budaya seperti bahasa, makanan, serta hiburan dari Korea Selatan atau Jepang. Sudah berat dengan bahasa Inggris, ketiban bahasa Korea pula. Tenang, pasti ada yang bisa kita pelajari dari fenomena ini.

Mula-mula, kita harus lihat dulu bagaimana ekspansi budaya besar-besaran tersebut bisa terjadi. Beberapa penelitian telah mencoba menjelaskan hal tersebut. Sebutlah salah satunya yang dikerjakan oleh peneliti PMB LIPI, Ranny Rastati. Dia mengatakan, Korea Selatan mulai mencuat sebagai salah satu alternatif budaya populer sejak serial dramanya meledak di pasar internasional pada akhir tahun 90an. Hal itu kemudian disusul dengan kesuksesan K-music dan K-drama lainnya yang terus bermunculan hingga saat ini. Kesuksesan tersebut pada akhirnya juga turut berperan besar dalam peningkatan ekonomi dan pariwisata Korea Selatan.

Hal serupa kurang lebih juga terjadi di Jepang. Meskipun Jepang juga terkenal melalui industri manufaktur dan kecanggihan teknologinya, namun yang paling berjasa dalam ekspansi budaya antara lain ialah perkembangan budaya populer berupa komik manga dan anime. Masyarakat dunia dapat mengenali seluk beluk budaya Jepang bukan dengan cara membeli mobil buatan Jepang, melainkan dengan membaca komik manga atau menonton anime.

Sampai di sini kita sudah bisa sedikit menyimpulkan bahwa produk budaya mampu mengantarkan suatu negara untuk naik ke atas panggung dunia global. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Bicara soal budaya, mestinya Indonesia tidak akan kalah. Kita punya belasan ribu pulau dengan ratusan suku dan bahasa yang berbeda-beda. Begitu juga dengan produk budayanya. Belum lagi dengan kekayaan alam, sumber daya manusia, serta warisan budaya peninggalan leluhur. Dengan semua kekayaan budaya itu, seharusnya Indonesia juga sudah mampu untuk naik ke atas podium dunia global. Namun, kenyataannya tidak terlalu demikian.

Mungkin yang luput digarisbawahi dari dua contoh ekspansi budaya di atas adalah produk budaya populer. K-drama atau K-pop, dan juga manga atau anime, merupakan produk budaya populer negaranya masing-masing. Ia bersifat ringan, diproduksi secara massal, sekaligus menarik dan mampu memikat. Meski begitu, ia memuat banyak sekali tanda-tanda kebudayaan yang secara tidak sadar telah ikut kita konsumsi dan masuk ke dalam alam bawah sadar. Misalnya, setelah menonton sekian seri K-drama, kita jadi mengerti sepenggal-sepenggal kalimat dalam bahasa Korea, atau berhasrat ingin mencicipi makanan Korea, bahkan lebih jauh lagi, berkeinginan untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu di Korea Selatan seperti yang ada di dalam drama. Begitu juga setelah membaca banyak komik manga atau menonton anime.

Barangkali ini lah yang sering luput dalam upaya pengenalan budaya Indonesia ke dunia global. Gelaran-gelaran semacam festival Indonesia di luar negeri seringkali hanya berisi pameran-pameran "budaya tinggi" seperti batik, wayang, makanan tradisional, tari-tarian, dan sebagainya. Tentu saja itu tidak salah, hanya saja kurang strategis. Dalam banyak kesempatan, kita sering kali terjebak pada sekadar memamerkan "eksotisme Indonesia". Padahal, menurut saya, yang dibutuhkan adalah sebuah produk budaya populer yang cair dan ringan untuk dikonsumsi, mampu memikat konsumen untuk terus-menerus mengonsumsinya secara berkelanjutan, namun di sisi lain harus tetap otentik dari Indonesia.

Lalu apakah Indonesia memiliki produk budaya populer semacam itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline