Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Hak Prerogatif yang Profesional

Diperbarui: 15 Oktober 2016   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jumat lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Ignasisus Jonan (Jonan) dan Achandra Tahar (Archandra) sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM. Sebagai pemegang hak preogratif,  Jokowi mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri. Hak ini melekat kepada Jokowi sebagai Presiden berdasarkan konstitusi.

Dalam praktek ketatanegaraan, hak preogratif diberikan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan untuk melakukan sesuatu bertujuan agar Pemerintahan dapat membangun kesejahteraan bagi rakyat. Mahfud menyebutkan “tanpa memerlukan persetujuan lembaga lain”.

Dalam sistem Pemerintahan Republik, konstitusi kemudian menempatkan Presiden selain sebagai Kepala Pemerintahan juga bertindak sebagai Kepala Negara. Hak preogratif sebagai Kepala Negera melekat seperti “mengangkat duta,Presiden memberi grasi dan rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisidan  memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan”.

Hak ini kemudian tetap dipertahankan dengan menambahkan kontrol dari berbagai lembaga lain. Seperti ” mengangkat dutadengan memperhatikan pertimbangan DPR,

memberi grasi dan rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisidengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agungdan memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.

Berbagai polemik terhadap ”hak preogratif” Presiden sering mewarnai wacana diskusi publik. Penonaktifan Jenderal Bimantoro sebagai Kapolri di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menimbulkan persoalan konstitusional. Gusdur menganggap pemberhentian Jenderal Bimantoro merupakan hak preograrif berdasarkan UU No. 28 tahun 1997. Sedangkan parlemen menganggap Gusdur harus merujuk kepada TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang mengatur tentang ”Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri” harus memerlukan persetujuan DPR.

Dunia politik dan hukum kemudian ”geger” ketika Yusril Ihza Mahendra (Yusril) ditetapkan oleh Jaksa Agung Hendarman Soepandji. Yusril kemudian ”mempersoalkan” Jaksa Agung yang tidak dilantik kembali sebagai anggota Kabinet SBY jidil II.

MK kemudian memberikan tafsiran terhadap Jaksa Agung yang menjadi bagian dari anggota kabinet Menteri sehingga terhadap Hendarman Soepandji haruslah diangkat lagi sebagai Jaksa Agung.

Secara terpisah hak preogratif Presiden Jokowi mengenai pengangkatan dan pemberhentian selain sudah ditegaskan didalam konstitusi, Namun publik mempunyai kontrol dan mengetahui ”rekam jejak” dari Menteri yang diangkat maupun diberhentikan.

Dengan semangat ”aura” hasil pilpres 2014, Jokowi ”meyakinkan publik” dengan pengangkatan nama-nama Menteri yang disodorkan. Pada komposisi anggota kabinet periode pertama, masuknya nama Puan Maharani tidak terlepas dari kritik yang mempertanyakan ”rekam jejak” dan kemampuan di Kementerian. Namun nyaris tidak terdengar suara apapun dari Jokowi baik terhadap kinerja maupun kemampuan Puan didalam struktur Kementerian yang dipimpinnya. Puan masih ”aman” dari pergantian kabinet.

Memasuki periode kedua, terpentalnya ”Andi Widjajanto” teman Jokowi di tim pemenangan Pilpres 2014. Tidak ada satupun penjelasan yang diterima publik selain ”bisik-bisik politik”, Andi Widjajanto  ”dianggap” menutup pintu terhadap jaringan politik. Yang namanya ”bisik-bisik politik” tentu saja sulit dibuktikan kebenarannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline