Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Dunia Digital Memakan Korban

Diperbarui: 23 Maret 2016   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perubahan itu terus terjadi. Tidak ada satupun yang bisa menghentikannya. Kita atau negarapun “sering gagap” menghadapi cepatnya perubahan.

Terdengar suara CEO Nokia Stephen Elop ketika menjual Nokia ke Microsoft akhir tahun 2013. "Kami tidak melakukan sesuatu kesalahan, tapi saya tidak tahu mengapa kami kalah". Selanjutnya mereka menitikkan air mata sembari memandang ke depan, termangu dan tidak mengerti apa yang terjadi.

Padahal sebagai “raja conneting partner” dan menguasai pangsa ponsel dunia selama 14 tahun, mereka sudah berada di posisi “nyaman”. Tidak ada rencana untuk pengembangan perkembangan dunia gadget yang tumbuh begitu cepat.

Kesalahan strategi “menggandeng” Microsoft dalam program aplikasi ditengah “derasnya android dan IOS”, membuat Nokia sering disebutkan sebagai “kesalahan strategi” yang kemudian “menguburkan raksasa Nokia”. Nokia kemudian tinggal sejarah. Sejarah yang pernah cuma bisa kita ceritakan. “Dulu ada HP yang dikenal sejuta umat. Ya. Nokia”.

Begitu juga terjadi di Amerika. The New York Time kemudian bertahan hanya mampu menyewakan ruang di gedungnya. The Washington Post kemudian harus dijual karena masalah finansial. Mengakhiri nasibnya menyusul “newsweek (2012)” dan bersama-sama dengan 40% media terbitan Amerika (2009). 

Padahal melalui investigas reporting Ben Bradlee, wartawan senior Washington Post yang terkenal kemudian berhasil membongkar skandal Watergate sehingga menggulingkan Presiden Richard Nixon. Sebuah upaya yang membuat The Washingtong Post diganjar “Pulitzer Prize”. Lambang kehormatan dunia pers yang paling dihormati.  Tidak salah kemudian The Washington Post dikenal “wajah politik Amerika” selama ratusan tahun.

Sekarang kita “dipertontonkan” digital dan dunia online mulai memakan korban.

Kampanye “Teman Ahok” memporakporandakan partai yang selama ini mengusung candidate Kepala Daerah. Teman Ahok menjadi “rising star” dan mampu menarik perhatian Ahok untuk maju Independepent.

Dengan digagas anak muda (paling banter) umur 25 tahun, mengelola website “partisipasi warga” dan mengajak rakyat Jakarta “mendorong” Ahok untuk maju calon perseorangan.

Mereka bicara politik dengan “sederhana”, “membumi” bahkan mampu memilih Ahok untuk “Berada  di barisan muda”.  Teman Ahok kemudian menjadi fenomena. Menjadi pembicaraan mengalahkan “tokoh-tokoh” politik yang mumpuni.

Teman Ahok kemudian membuat rakyat Jakarta kemudian “berjejer” antri untuk mengisi formulir dukungan kepada Ahok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline