Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Seloko Adat dalam Putusan MK

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SELOKO ADAT DALAM PUTUSAN MK

Hari ini Mahkamah Konstitusi telah memutuskan UU No. 4 Tahun 2014 berasalkan Perpu No. 1 Tahun 2013. Putusan MK penting untuk dicermati sebagai pembelajaran dan pandangan konstitusi terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.

Perpu No. 1 Tahun 2013 memang dilahirkan setelah ditangkapnya Ketua MK Akil Mukhtar oleh KPK. Perpu No. 1 tahun 2013 merupakan “respon” dari Presiden SBY.

Memang ada “desakan” dari publik melihat gonjang ganjing persoalan di MK. Namun bukannya “segera” mengeluarkan Perpu, Presiden SBY dianggap “lambat” untuk meresponnya sehingga desakan kepada SBY telah “kehilangan momentum”.

Perpu yang dikeluarkan SBY disampaikan ke publik, disaat bersamaan MK kemudian “berbenah”. MK kemudian memberhentikan Akil Mukhtar dan kemudian menetapkan Wakil Ketua MK, Hamdan Zoelfan dan kemudian memilihnya menjadi Ketua MK.

Melihat pertimbangan yang disampaikan MK, banyak pelajaran yang penting dijadikan pembelajaran ke depan.

Pertama. MK tetap konsisten untuk tetap pada putusan MK mengenai “hakim konstitusi” tidak terikat dengan ketentuan yang diatur didalam pasal 24 B UUD 1945. Artinya, MK tetap mengikuti putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006 yang secara tegas menyatakan “hakim mahkamah konstitusi tidak terkait dengan ketentuan pasal 24 B UUD 1945. Dengan demikian, maka Komisi Yudisial bukanlah pengawas dari mahkamah konstitusi. MK tetap bersikukuh unsur di MK tetap terdiri dari Presiden, DPR dan Mahkamah Agung sebagai cerminan tiga pilar kekuasaan.

Kedua. MK memandang KY sebagai bentuk “penyeludupan hukum” dari Perpu No. 1 Tahun 2013 sebagai bagian dari intervensi Pemerintah untuk memasuki MK. Padahal berdasarkan putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006, jelas-jelas KY tidak dapat memeriksa, mengawasi MK.

Ketiga. Stigma yang mempersoalkan latar belakang hakim konstitusi dari Partai Politik adalah persepsi yang dibangun tidak mempunyai dasar hukum. Persepsi yang dibangun berdasarkan kasus Akil Muktar tidak dapat dijadikan sandaran dan dasar hukum Presiden untuk mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2013.

Persepsi ini harus diluruskan. Persepsi yang hendak dibangun tidak boleh menganulir putusan MK.

Keempat. Perintah untuk mencabut Perpu No. 1 Tahun 2013 yang kemudian dijadikan UU No. 4 Tahun 2014 dan kembali ke UU No. 8 Tahun 2011 merupakan peristiwa yang unik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline