Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Ada Apa dengan Ahli Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai dagelan hukum yang kering makna. Kriminalisasi pimpinan KPK, pendukung KPK seperti Denny Indrayana (UGM), Feri Amsari (Unand).

Belum cukup.

Sekarang mulai “mempersoalkan” hasil investigasi Komnas HAM dan “mengancam” menyeret seluruh komisioner Komnas HAM. Politik kontemporer Indonesia “memasuki” masa suram”. Bandul Politik mulai bergeser dan bayangan gelap mulai membayang.

Persis yang sering diingatkan oleh Ronggowarsito di “Sinom dalam serat Kalatido “Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan. yen tan melu anglakoni boya kaduman melik. kaliren wekasanipun.Dillalah karsaning Allah. Sakbeja-bejane wong kang lali. luwih beja kang eling lan waspada”..(Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan. jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung untungnya orang yang lupa diri, masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada)

Nurani kebenaran mulai dipertanyakan. Suara-suara kritis dan “menggugat” ketidakadilan menemukan momentum. Kekuasaan berhadapan dengan kebenaran.

Dengan menggunakan “atas nama hukum”, proses pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan “supercepat' mengebut dan mengejar “target” agar dijadikan tersangka kemudian ditahan “menumpulkan nurani. Hukum dijadikan “alat” untuk menghantam siapapun yang “dianggap kritis dan berseberangan pandangan dengan kekuasaan.

Momentum “krisis” dan kisruh KPK vs Kepolisian digunakan dengan baik. Dengan alasan “menghormati” terhadap laporan dari masyarakat, hukum kemudian dijadikan alat yang efektif. Berhasil untuk “sejenak” kaum kritis diluar kekuasaan senyam dan diam melihat ketidakadilan.

Kisah ini bermula dengan gaya overacting “penangkapan' terhadap komisioner KPK, Bambang Widjajanto (BW) ketika hendak mengantarkan putranya sekolah. Belum cukup. Penetapan tersangka terhadap Abrahama Samad (AS) dan dilanjutkan dengan “pemeriksaan” terhadap Denny Indrayana (UGM) dan Feri Amsari (Unand). Perintah panglima tertinggi Presien Joko Widodo, seruan dari Tim 9, imbauan dari berbagai kampus “sama sekali” diabaikan dan dianggap angin lalu. Pemeriksaan terus berlanjut dan “tidak berhenti sama sekali”.

Dunia kampus mulai gerah. Berbagai nilai-nilai, prinsip, asas, teori bahkan norma untuk “mengingatkan” praktisi hukum kembali ke jati diri negara hukum “seakan-akan” diabaikan. Seruan “malu almamater” telah menumpulkan nurani. Mereka hidup di awang-awang dan terus merengsek menembus pertahanan nurani dari kampus.

Saya kemudian tertarik untuk menarik benang merah dan mencari akar sebab mengapa praktisi hukum “tumpul” menggunakan nurani. Dengan berangkat dari berbagai pernyataan praktisi hukum, saya kemudian menemukan rumusan untuk menjawab persoalan mendasar yang terjadi.

Kurikulum Kampus

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline