Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Sertifikat Halal

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita mendiskusikan sertifikat halal dalam setiap label makanan. Menyimak berbagai tanggapan terhadap sertifikat halal, sembari kita menunggu Panja RUU Jaminan produk halal, alangkah baiknya kita sejenak melihat “kepentingan” konsumen diutamakan.

Mendorong sertifikat halal dalam setiap produk makanan merupakan “informasi penting” dari umat Islam. Dengan Informasi itulah, umat Islam akan menentukan “apakah” menggunakan produk itu atau bukan.

Saya tidak perlu mendiskusikan “zat” yang diranah Umat Islam termasuk kategori halal-haram. Itu sudah menjadi pegangan dan pengetahuan dan sudah menjadi pengetahuan umat Islam . Begitu juga ada keraguan terhadap produk, maka sudah dipastikan tidak akan digunakan.

Namun “memaksa” negara untuk juga menerapkan “sertifikat halal” merupakan sebuah persoalan tersendiri. Saya tertarik selain akan menimbulkan persoalan juga akan menyebabkan “negara” kemudian menjadi “penentu” sebuah halal-haram sebuah produk.

Pertama. Betul. Informasi tentang produk halal-haram merupakan informasi penting bagi umat Islam. Informasi itu harus disampaikan secara terbuka. UU Konsumen sendiri juga telah menyatakan, “tidak ada kesesatan informasi” yang diberikan kepada konsumen terhadap sebuah produk.

Kedua. Informasi yang diberikan tentu saja hanya berlaku kepada suatu kaum agama tertentu. Umat Islam saja. Tentu saja sertifikat halal-haram tidak bisa dipaksakan diluar umat Islam.

Dengan demikian, maka sertifikat Halal-haram biarlah menjadi kewenangan lembaga Islam saja.

Ketiga. Dengan sertifikat Halal-haram maka, negara tidak bisa “dipaksa” menjadi penentu halal-haram. Negara harus berdiri diatas semua agama, diatas semua golongan.

Doktrin ini sudah lama menjadi diskusi di kalangan ahli hukum dan sejarah perumusan UUD 1945. Sehingga negara tidak bisa menjadi bagian dari suatu agama tertentu.

Keempat. Dengan UU Konsumen saja, konsumen sudah dilindungi dengna informasi suatu produk. Dengan informasi itulah, kita bisa menentukan apakah suatu produk sesuai dengan informasi yang diberikan.

Kelima. Sudah saatnya, diskusi mengenai rumusan sertifikat Halal-haram biarlah menjadi urusan umat Islam saja. Tidak perlu lagi negara kemudian “intervensi” sehingga “paksaan” sertifikat Halal-haram menjadi ranah negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline