Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, yang dalam proses pemilihan Gubernur DKI 2017 berjuang untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, dan memperoleh elektabilitas di bawah Basuki T. Purnama akhirnya tidak dicalonkan partai-partai politik yang tergabung dalam poros Cikeas yang dimotori Partai Demokrat yang didukung PKB, PPP dan PAN serta poros Kertanegara yang dibangun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Demikian juga halnya dengan PDIP, Yusril juga gagal memperoleh tiket untuk menjadi calon Gubrnur DKI. Pada hal yang bersangkutan ikut mendaftarkan diri dan mengikuti Fit and Proper Test (uji kelayakan) di PDIP, tetapi akhirnya dengan menggunakan hak prerogative ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri memilih Basuki T. Purnama menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, walaupun dia tidak mendaftar dan mengikuti uji kelayakan di PDIP.
Begitu pula Rizal Ramli, mantan Menteri Maritim dan Sumber Daya Alam RI, juga gagal mendapatkan tiket dari berbagai partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta, walaupun berpotensi untuk menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 15 Februari 2017.
Pertanyaannya, mengapa kedua tokoh nasional yang bergelar Ph.D dari luar negeri, memiliki reputasi tinggi karena keduanya pernah duduk di pemerintahan sebagai menteri dan track record (rekam jejak) keduanya cukup baik dan yakin menang dalam pilgub DKI, tidak dicalonkan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta?
Pragmatisme Politik
DKI Jakarta adalah barometer nasional. Berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, pertahanan keamanan dan sebagainya mau menguasai DKI Jakarta sebagai pintu masuk untuk menguasai Indonesia, karena ada yang mengatakan: kalau menguasai DKI berarti telah menguasai Indonesia 60 %.
Maka proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta bagaikan proses pemilihan Presiden RI. Semua kekuatan turun untuk memenangkan pertarungan guna merebut DKI 1 dan 2 sebagai pintu masuk (entry point) untuk menguasai dan memimpin Indonesia.
Oleh karena itu, proses pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta sangat alot, berlarut-larut dan menegangkan.
Setidaknya ada tiga faktor dominan dalam menetapkan calon Gubernur DKI Jakarta yang diusung. Pertama, faktor uang sangat dominan dalam memilih calon Gubernur. Apakah calon yang akan diusung memiliki kemampuan dana? Sumber dana bisa dari sang calon, dan bisa pula dari sponsor, seperti taipan yang siap mengucurkan dana.
Faktor uang dalam jumlah besar ratusan milyar rupiah hingga triliunan rupiah sulit dipenuhi Yusril Ihza Mahendra dan Rizal Ramli. Keduanya adalah tokoh yang kritis dan berani membela rakyat jelata yang dalam banyak hal berlawanan dengan kepentingan pemodal yang ingin menguasai Indonesia melalui DKI Jakarta, sehingga sulit bagi mereka untuk mendanai keduanya untuk berkompetisi merebut DKI 1.
Kedua, faktor politik. DKI Jakarta adalah suhunya Indonesia, siapa yang terpilih menjadi Gubernur DKI berpotensi menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden RI tahun 2019. Maka partai-partai politik sangat berkepentingan, sehingga dalam memilih calon Gubernur DKI adalah dari kalangan sendiri.