Di Indonesia, bisa dikatakan masih hitung jari, pejabat yang baru dilantik, bertekad akan mundur dari jabatannya jika dalam satu tahun gagal mewujudkan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Sudah menjadi rahasia umum, para pejabat di eksekutif (pemerintahan), parlemen (legislative), yudikatif (lembaga peradilan), partai politik, pendidikan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya, akan bertahan dari jabatannya, apapun kata orang tentang kinerja yang bersangkutan.
Dr. Singgahan Lubis adalah salah seorang putera Indonesia yang bergelar Doktor dalam bidang pendidikan Islam, yang berjanji akan mundur dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Chaldun (UIC), jika dalam satu tahun gagal membawa perubahan dan peningkatan di fakultas yang dipimpinnya.
Saya tertarik mengulas prinsip yang dipegang Dr. Singgahan Lubis, karena prinsip yang dipegang dan diamalkan bertentangan mentalitas dan budaya pejabat di Indonesia.
Mayoritas pejabat di lembaga apapun di Indonesia, memegang ilmu arah angin untuk meraih dan mempertahankan jabatan. Pertama, kasak-kusuk mencari perhatian supaya diberi jabatan. Kedua, menjilat, menuruti apa maunya yang memberi jabatan. Ketiga, menyingkirkan atau memfitnah siapa saja yang bisa mengancam kedudukannya.
Sejatinya, untuk meraih suatu jabatan adalah menunjukkan kinerja atau prestasi kerja. Seseorang mendapat promosi jabatan, karena kerja keras dan kinerja yang ditunjukkan di posisi yang diemban. Ketika diberi jabatan lebih tinggi seperti Dr. Singgahan Lubis, menjadi dekan, tolok ukur berapa lama memegang jabatan dekan, ditentukan oleh prestasi dan kinerja. Makin baik kinerja yang ditunjukkan, makin lama seseorang memegang jabatannya. Sebaliknya, kalau tidak mampu mengemban amanah yang dipercayakan, - tidak usah menunggu berakhirnya masa jabatan, satu tahun akan berhenti dari jabatannya seperti yang diniatkan Dr. Singgahan. Prinsip semacam itu, mendorong setiap pejabat dimanapun bekerja keras dan bersinergi agar jabatan yang diemban memberi kontribusi untuk meraih kemajuan.
Tantangan yang dihadapi di Indonesia, pemberi jabatan dan penerima jabatan, tidak menjadikan kinerja sebagai tolok ukur untuk menentukan berapa lama seseorang memegang suatu jabatan. Dalam realitas, tidak ada tolok ukur dalam relasi kekuasaan antara pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan.
Yang menonjol dan diamalkan dalam relasi kekuasaan adalah loyalitas. Mereka yang diberi jabatan, akan dipertahankan jika menjadi good boy, mengikuti dan menuruti apa maunya yang memberi jabatan. Tidak peduli berprestasi atau berkinerja baik, yang penting bisa menyenangkan yang memberi jabatan.
Malangnya, pemberi jabatan, senang kalau bawahannya penurut, ikut apa maunya atasan, dan tidak macam-macam. Maka walaupun seseorang yang diberi jabatan tidak berprestasi atau tidak berkinerja baik, tetap dipertahankan.
Dampak negative relasi kekuasaan semacam itu, institusi yang dipimpin menjadi rusak, dan sulit bangkit dan maju, karena dari pimpinan tertinggi sampai bawahan, orientasi utamanya bukan meningkatkan prestasi dan kinerja, tetapi berusaha menyenagkan atasan dengan akronim ABS (Asal Bapak Senang)
Melakukan Perubahan