Lihat ke Halaman Asli

Musni Umar

TERVERIFIKASI

Ketimpangan Bisa Melahirkan "Intifadah"

Diperbarui: 5 Februari 2016   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Harian Kompas hari ini (5/2/2016), menurunkan berita utama dengan tajuk “Ketimpangan di Kota Melonjak”. Bukti ketimpangan ditunjukkan dengan kenaikan rasio gini perkotaan dari 0,43 pada September 2014 menjadi 0,47 per September 2015.

Rasio gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara keseluruhan yang angkanya berkisar 0 hingga 1. Angka 0 berarti pemerataan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna.

Rasio Gini 0,47 sudah lampu kuning bahkan sudah mendekati lampu merah. Dalam tulisan saya kemarin di Kompasiana (4/2/2016) bertajuk “Pilgub DKI 2017 Bakal “Seru”, Cegah Kerawanan Sosial”, saya kemukakan bahwa ketimpangan di DKI sangat berbahaya. 

Momentum pemilihan Gubernur DKI bisa dimanfaatkan oleh mereka yang ingin merebut DKI 1 untuk menggerakkan orang-orang miskin untuk melakukan “intifadah”, yang dalam Bahasa Arab diartikan “perlawanan” untuk melakukan perubahan. Kalau rakyat jelata yang melakukan perlawanan, biasanya dengan kekerasan. Apalagi ketimpangan berkaitan erat dengan perasaan ketidak-adilan.

Mission Impossible

Mengurangi apalagi menghilangkan ketimpangan ekonomi merupakan “mission impossible” jika tidak dipecahkan akar masalahnya.

Menurut saya, akar masalah terjadinya ketimpangan adalah “kebodohan”. Mereka yang mengalami ketimpangan ekonomi adalah rakyat jelata yang tidak pernah memperoleh akses pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan gratis telah diwujudkan pemerintah di setiap kabupaten-kota dan provinsi, tetapi mereka yang bisa mengakses pendidikan gratis adalah anak-anak dari kalangan menengah ke atas.

Pada tingkatan pendidikan sekolah dasar, hampir semua warga negara yang miskin, kelas menengah dan atas bisa memperolehnya. Akan tetapi, ketika tamat sekolah dasar, anak-anak miskin sudah mulai mengalami kesulitan untuk masuk sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas, terlebih-lebih masuk di perguruan tinggi negeri. Mereka tidak sanggup bersaing dengan anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas karena nilai-nilai ujian sekolah dan ujian nasional mereka rendah.

Oleh karena itu, mayoritas anak-anak miskin hanya bisa sekolah di swasta atau tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sebagai contoh paling aktual, Kementerian Ristek dan Dikti RI untuk tahun ajaran 2016 menetapkan bahwa anak-anak miskin harus diterima masuk di perguruan tinggi negeri (PTN) 30 persen.

Pada hal, jumlah masyarakat menengah ke bawah, sekitar 80 persen dari total penduduk Indonesia. Kalau mau adil dan ingin sungguh-sungguh mengurangi ketimpangan ekonomi, harus dimulai dari pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline