Lihat ke Halaman Asli

Musni Umar

TERVERIFIKASI

Musni Umar: Jokowi dan Sulitnya Merubah Budaya PKL

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gebrakan yang dilakukan Jokowi – Ahok untuk memberesi Pedagang Kaki Lima (PKL) sebenarnya merujuk kepada 4 (empat) program yaitu:

1.Mengefektifkan aturan penyediaan ruang sebesar 20 persen bagi PKL di kawasan perkantoran dan perniagaan kota.

2.Membangun mall khusus PKL di tanah pemerintah.

3.Penertiban dilakukan kepada PKL yang tidak ber KTP DKI Jakarta. PKL yang dibolehkan yaitu berpenduduk Jakarta.

4.Penataan yang dilakukan adalah dengan merelokasi PKL ke lokasi binaan.

Dari empat program penataan PKL yang sudah berhasil dilakukan ialah point 3 dan point 4 dengan merelokasi PKL tanah Abang yang selama puluhan tahun berdagang di bahu jalan dan di trotoar, yang sangatmengganggu lalu lintas dan ketertiban umum.

Penataan PKL di Tanah Abang yang berjalan lancar, aman dan damai mendapat apresiasi masyarakat DKI Jakarta, karena kawasan itu berhasil ‘dirapikan’ oleh Jokowi dengan memindahkan seluruh PKL tanpa gejolak keblok G.Akibat relokasi PKL di kawasan itu, jalan menjadi lancar, pemandangan menjadi indah dan tidak lagi macet.

Selain Tanah Abang, PKL kawasan lain yang berhasil direlokasi ialah PKL di kawasan Pasar Minggu, Pasar Gembrong, dan Kebayoran Lama.

Akan tetapi, sangat menyedihkan setelah saya membaca berita di Harian Kompas (18/2/2014) dan juga tulisan Ilyani Sudrajat di Kompasiana (18/2/2014) yang bertajuk “Pedagang Blok G Tanah Abang kembali ke Jalan; Pak Jokowi perlu ‘Tangan Besi’?

Budaya PKL

Soedjana (1981) yang melakukan penelitian PKL, secara spesifik mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima (PKL) adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual diatas trotoar atau tepi/di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.

Mereka itu memiliki budaya berjualan diatas trotoar, dibahu jalan, dipinggir jalan, di sekitar perbelanjaan, pertokoan, pasar dan lain sebagainya.Budaya itu terbentuk akibat lemahnya birokrasi.Pejabat ditingkat bawah menerima upeti dari para PKL dan diupeti itu dialirkan ke berbagai pihak sehingga semua menerima manfaat dari PKL dan terjadi kerjasama yang bersifat simbiosis mutualistik.Selain itu, PKL memberi pula multiplier effect kepada pekerja serabutan, preman, pembeli tingkat bawah karena menjual barang dibawah harga di mall dan pasar-pasar yang dibangun swasta dan pemerintah.

Oleh karena itu, pekerjaan Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok yang paling berat dalam menata PKL di DKI Jakarta, selain merelokasi PKL adalah merubah budaya PKL.

Mendidik PKL yang pada umumnya tidak mempunyai pendidikan memadai, terbiasa hidup tidak tertib, dan tidak taat aturan serta orientasi hidupnya bersifat jangka pendek merupakan pekerjaan yang harus dilakukan setelah berhasil merelokasi PKL.

Pendidikan dan pembinaan PKL akan efektif jika penegakan hukum (law enforcement) dilakukan secara konsisten, terus-menerus dan tanpa pandang bulu. Kelemahan dalam penataan PKL selama ini karena “panas-panas tahi ayam”.Pejabat dan Satpol PP cepat memble.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline