Entah bagaimana, hari ini tiba-tiba saya kena penyakit suka tanya-tanya. Begitu keluar dari rumah, pada orang pertama yang saya jumpai, saya bertanya, “Apa kriteria Caleg yang akan Ibu pilih dalam Pemilu Legislatif nanti?” Ibu cantik itu menjawab, “Saya akan memilih Caleg yang diminta oleh orang ramai untuk mencalonkan diri.”
Lalu saya bilang, “Ada bahayanya memilih orang seperti itu, Bu. Kalau kelak ia berkhianat pada janji, ia dengan mudah membela diri dengan berkata, ‘Pada awalnya aku tidak berniat nyaleg, tapi karena permintaan banyak orang, yaaaaa, gimana. Beginilah jadinya.’ Nah, itu bagaimana, Bu?”
Ibu itu lantang menjawab, “Tidak. Saya akan tetap memilih Caleg-caleg yang diminta oleh orang ramai untuk mencalonkan diri, baik untuk DPRK, DPRD maupun DPR Pusat. Titik!” Dan sambil meninggalkan ibu itu saya berucap, “Baiklah, Bu. Terima kasih. Mohon diri. Selamat berpartisipasi.”
Pada orang kedua yang saya jumpai, saya bertanya, “Apa kriteria Caleg yang akan Bapak pilih dalam Pemilu Legislatif nanti?” Lelaki gemuk itu menjawab, “Saya akan memilih orang yang mencalonkan diri, lalu meminta orang ramai untuk memilihnya.”
Lalu saya bilang, “Ada bahayanya memilih orang seperti itu, Pak. Kalau kelak ia berkhianat pada janji, ia dengan mudah membela diri, misalnya dengan berkata, ‘Aku mengeluarkan uang untuk nyaleg, aku mengeluarkan uang untuk meminta orang memilihku, yaaaaa, sekarang aku menginginkan semua modalku kembali.’ Nah, itu bagaimana, Pak?”
Dengan lantang bapak itu menjawab, “Tidak. Saya akan tetap memilih orang yang mencalonkan diri yang kemudian meminta orang ramai untuk memilihnya. Titik!” Dan sambil meninggalkan bapak itu saya berucap, “Baiklah, Pak. Terima kasih. Mohon diri. Selamat bermaterialisasi.”
Pada orang ketiga yang saya jumpai, saya bertanya, “Apa kriteria Caleg yang akan Abang pilih dalam Pemilu Legislatif nanti?” Lelaki muda parlente itu menjawab, “Saya akan memilih orang yang sudah berbuat banyak pada masyarakat bertahun-tahun sebelum ia mencalonkan diri sebagai bakal anggota legislative.”
Lalu saya bilang, “Ada bahayanya memilih orang seperti itu, Bang. Kalau kelak ia berkhianat pada janji, ia dengan mudah membela diri, misalnya dengan berkata, ‘Kemarin itu aku cuma nyaleg, tak pernah minta orang untuk memilihku, tak pernah kasih duit agar orang-orang memilihku, tapi kenapa orang memilihku juga? Sekarang, ya, suka-suka akulah.’ Nah, itu bagaimana, Bang?”
Dengan enjoinya lelaki parlente itu menjawab, “Yaaa, setidak-tidaknya itu bisa kita anggap sebagai balas-budi atas segala pengorbanannya dulu selama bertahun-tahun kepada masyarakat banyak. Untuk membalas budi dengan cara lain pun kita tidak mampu.” Dan sambil meninggalkan pemuda parlente itu saya berucap, “Baiklah, Bang. Terima kasih. Mohon diri. Selamat bertoleransi.”
Pada orang keempat yang saya jumpai—o’-ooo—saya kena batunya. Pada orang ini saya memang tidak ada niat untuk bertanya, tapi justru dia yang bertanya, “Siapa yang akan Anda pilih dalam Pemilu Legislatif nanti untuk Caleg DPR Pusat?” Spontan, dengan lantang, tanpa sempat berpikir ini-itu, saya langsung menjawab,”Ah, siapa lagi. Anda dooooooong.”***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H