Lihat ke Halaman Asli

Ahd Zulfikri Nasution

Pengamat Politik

Mencari Suara di Orang Miskin, Mencari Dana di Orang Kaya: Itulah Politik Kita

Diperbarui: 1 Desember 2024   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ai"

Politik di negeri ini seringkali lebih menyerupai panggung drama yang penuh ironi daripada arena gagasan. Di satu sisi, para politisi berlomba-lomba meraih simpati dari rakyat miskin, menyusup ke gang-gang sempit dan desa-desa terpencil untuk mengumbar janji manis. Namun, di sisi lain, mereka tidak segan-segan mengetuk pintu para pemodal kaya raya untuk mencari dana kampanye, yang hampir selalu disertai dengan "balas budi" di masa depan. Fenomena ini mencerminkan wajah politik kita yang pragmatis, kadang kala tanpa etika, dan seringkali jauh dari nilai-nilai ideal demokrasi.

Politik Populis dan Eksploitasi Orang Miskin

Dalam setiap musim pemilu, kita menyaksikan pemandangan yang hampir seragam: politisi turun ke lapangan, menampilkan citra sederhana, dan menjanjikan perubahan hidup yang lebih baik bagi rakyat kecil. Mereka berbaur dengan pedagang pasar, menunggangi becak, hingga duduk di tikar lusuh sambil menyantap makanan seadanya bersama penduduk miskin. Semua ini dilakukan demi satu tujuan: mendapatkan suara.

Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa kunjungan singkat ini jarang sekali berlanjut menjadi solusi konkret. Setelah pemilu usai, para politisi tersebut kerap menghilang dari radar, meninggalkan rakyat miskin yang kembali bergelut dengan kehidupan berat mereka. Yang lebih menyakitkan, kemiskinan sering kali bukan hanya dibiarkan, tetapi juga dieksploitasi sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Janji-janji seperti bantuan sosial, program kesejahteraan, atau pembangunan infrastruktur sering kali lebih bertujuan untuk membeli loyalitas politik daripada mengentaskan kemiskinan secara struktural. Dalam banyak kasus, program-program ini tidak dirancang untuk memberdayakan, melainkan untuk membuat masyarakat tetap bergantung pada bantuan pemerintah. Dengan begitu, suara rakyat miskin dapat terus dijadikan "komoditas" politik.

Modal Kampanye: Memanfaatkan Orang Kaya

Di sisi lain, kampanye politik membutuhkan biaya besar. Iklan di televisi, baliho yang menghiasi jalan raya, hingga aktivitas konsolidasi di lapangan tidak mungkin terlaksana tanpa dana. Untuk itu, politisi beralih kepada para pemodal kaya, yang biasanya adalah pengusaha besar dengan kepentingan tertentu.

Transaksi yang terjadi di balik layar ini jarang bersifat murni filantropis. Para pemodal tentu mengharapkan imbalan, entah dalam bentuk kemudahan perizinan, kontrak proyek, hingga kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Akibatnya, kepentingan rakyat sering kali tersisih oleh prioritas pemodal. Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang pro-rakyat, banyak politisi justru lebih sibuk melayani "tuan-tuan" mereka yang ada di balik layar.

Ketergantungan ini menciptakan lingkaran setan korupsi yang sulit diputus. Untuk memenuhi komitmen kepada para pemodal, banyak politisi yang akhirnya menyalahgunakan kekuasaan. Bahkan, korupsi sering dimulai sejak masa kampanye, ketika dana sumbangan tidak tercatat secara transparan, dan dilanjutkan setelah terpilih dengan praktik-praktik seperti jual beli jabatan atau penggelembungan anggaran proyek.

Ironi Demokrasi: Suara Rakyat, Kepentingan Elit

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline