Lihat ke Halaman Asli

Ahd Zulfikri Nasution

Pengamat Politik

Gen-M vs Gen-K dalam Otoritas dan Pembaruan

Diperbarui: 10 November 2024   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dunia politik Indonesia, dua generasi besar menunjukkan karakter yang berbeda dalam cara pandang, pendekatan, dan gaya kepemimpinan mereka antara Generasi Kolonial dan Generasi Milenial. Generasi Kolonial, yang lahir pada masa penjajahan dan tumbuh dalam era pasca-kemerdekaan, menilai politik dengan perspektif sejarah perjuangan, kedisiplinan, serta pemikiran yang kental dengan nilai nasionalisme. Di sisi lain, Generasi Milenial lahir dan berkembang di era reformasi dan globalisasi, di mana internet dan media sosial menjadi alat utama dalam pembentukan opini publik. Kesenjangan antargenerasi ini menimbulkan tantangan dan ketegangan dalam berbagai sektor, terutama dalam dunia politik, yang diwarnai oleh gaya kepemimpinan yang berbeda serta perbedaan prioritas nilai. 

Generasi Kolonial memiliki kecenderungan mengadopsi perspektif kekakuan untuk memandang politik sebagai sarana menguatkan identitas nasional dan memastikan stabilitas. Gaya kepemimpinan mereka sering kali bercirikan pendekatan top-down, di mana otoritas berperan sebagai penentu utama, sedangkan masyarakat dianggap sebagai pengikut. Bagi mereka, stabilitas adalah prioritas, dan konsensus merupakan sesuatu yang dicapai melalui kepatuhan, bukan diskusi terbuka. Contohnya terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh beberapa pemimpin senior yang masih menduduki posisi strategis, di mana kebijakan cenderung otoritatif dan tidak terlalu mengakomodasi suara dari kelompok muda atau dari masyarakat secara umum.

Sebaliknya, Generasi Milenial melihat kepemimpinan dengan cara yang jauh lebih fleksibel dan egaliter. Bagi mereka, politik adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi, mengadvokasi perubahan, serta mempromosikan inklusivitas. Mereka sangat menghargai kebebasan berekspresi dan mendukung kepemimpinan yang transparan. Contoh jelas dari pendekatan ini terlihat dalam peran aktif Generasi Milenial dalam isu-isu lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Mereka cenderung menuntut pemimpin yang dapat berkomunikasi secara terbuka, mengakomodasi masukan, dan berani berinovasi.

Begitu juga antara nilai dan kritik bahkan Generasi Kolonial sering kali menilai loyalitas sebagai nilai tertinggi dalam politik. Bagi mereka, setia kepada pemimpin dan ideologi tertentu merupakan bentuk penghormatan dan kesetiaan terhadap perjuangan bangsa. Hal ini bisa dilihat pada banyak tokoh politik dari generasi ini yang masih memegang teguh partai atau aliran politik tertentu, meskipun mungkin pandangan tersebut tidak lagi relevan dengan perubahan zaman. Ketika dihadapkan dengan kritik, mereka cenderung menanggapinya dengan defensif karena memandangnya sebagai bentuk ketidaksetiaan.

Generasi Milenial, sebaliknya, menilai kritik konstruktif sebagai cara untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Mereka lebih suka mendukung pemimpin yang dapat menerima kritik sebagai masukan untuk perbaikan. Dalam konteks ini, loyalitas tidak berarti setia buta kepada figur atau partai, melainkan kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mereka anggap penting. Sebagai contoh, banyak dari mereka yang terlibat dalam gerakan "politik hijau" atau "sustainable living" lebih fokus pada substansi dibandingkan afiliasi politik. Mereka tidak ragu untuk memberikan kritik terhadap pemerintah, bahkan jika itu datang dari pihak yang mereka dukung.

Salah satu Perbedaan paling mencolok antara Generasi Kolonial dan Milenial terlihat dalam cara mereka menggunakan teknologi dan media sosial. Generasi Kolonial cenderung merasa asing dengan penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi politik. Mereka lebih percaya pada pendekatan tatap muka, kampanye fisik, dan pemberitaan media mainstream. Akibatnya, beberapa dari mereka tertinggal dalam cara menyampaikan pesan atau meraih simpati pemilih muda. Selain itu, Generasi Kolonial cenderung lebih berhati-hati dan konservatif dalam berbicara di ruang publik karena mereka melihat media sebagai sesuatu yang harus diatur dan diawasi.

Generasi Milenial, sebaliknya, melihat media sosial sebagai panggung utama untuk berpolitik. Mereka memanfaatkan platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok sebagai sarana untuk membangun kesadaran publik, mengkritik kebijakan, dan menggalang dukungan. Misalnya, gerakan #ReformasiDikorupsi yang melibatkan ribuan anak muda di media sosial adalah bukti nyata bagaimana Generasi Milenial menggunakan teknologi untuk memengaruhi opini publik dan menuntut perubahan. Media sosial memungkinkan mereka untuk menyampaikan pesan secara instan, memobilisasi massa, dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat tanpa perantara.

Sorotan utama terhadap Isu Global dan Isu Lokal Generasi Kolonial cenderung lebih fokus pada isu-isu nasional dan lokal yang mereka anggap lebih relevan. Bagi mereka, tantangan terbesar adalah menjaga keutuhan bangsa dan memastikan kedaulatan negara. Hal ini bisa dilihat dalam kebijakan yang mereka dukung, seperti kebijakan yang menekankan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri. Mereka memandang isu-isu internasional dengan sikap hati-hati, sering kali mencurigai pengaruh asing sebagai ancaman bagi kepentingan nasional.

Di sisi lain, Generasi Milenial sangat peka terhadap isu-isu global, seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia. Bagi mereka, politik tidak hanya terbatas pada batas-batas negara, tetapi merupakan bagian dari perjuangan global untuk keadilan dan kesetaraan. Mereka mendukung kebijakan yang pro-lingkungan, anti-diskriminasi, dan mendukung keterbukaan terhadap dunia internasional. Misalnya, banyak anak muda yang ikut memperjuangkan isu perubahan iklim dan menuntut agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya peduli pada isu-isu lokal, tetapi juga memiliki pandangan global. 

Nah, Perbedaan perspektif dan pendekatan antara Generasi Kolonial dan Milenial ini menciptakan tantangan dalam upaya integrasi kedua generasi tersebut dalam dunia politik. Generasi Kolonial, dengan pengaruh dan pengalaman yang mereka miliki, masih memegang peranan penting dalam kebijakan nasional. Sementara Generasi Milenial, dengan ide-ide segar dan pemikiran yang progresif, mendorong perubahan. Keduanya perlu saling memahami dan berkolaborasi untuk menciptakan kebijakan yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.

Pada akhirnya, politik yang ideal adalah yang dapat mengakomodasi kekuatan tradisional dari Generasi Kolonial, yang menjunjung tinggi nilai kesetiaan, serta energi progresif dari Generasi Milenial yang membawa perubahan. Sinergi ini dapat membawa pada pembaruan politik yang tidak hanya stabil tetapi juga relevan dengan kebutuhan generasi masa kini dan masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline