Lihat ke Halaman Asli

Ibu, Jauh di Mata Jauh di Hati

Diperbarui: 8 Maret 2016   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibu (foto dindin)"][/caption]Ibuku, orang yang melahirkanku kini usianya sudah mendekati  80 tahun. Di kampung, ibu  adalah  satu-satunya orang yang dituakan. Ia sering bercerita, bahwa orang-orang seusianya  semuanya  telah meninggal. Hanya tinggal ia seorang.

Saya juga heran, setua itu fisiknya  masih  sangat kuat. Pendengarannya dan penglihatannya masih tajam.  Pokoknya  semua organ tubuhnya masih berfungsi normal. Makanya aku, istri,  dan anak-anak selalu hati-hati kalau berbicara di depannya,   jangan sampai menyakiti perasaannya. Bisa murka ia.

Aku sering iba melihatnya. Di usianya yang sudah renta, ia hidup sendiri. Ayah sudah meninggal lima tahun lalu. Kelima  anaknya telah memiliki rumah dan perkerjaan masing-masing. Tiga anaknya termasuk aku  hidup dan bekerja di luar kota, dua lainnya  walaupun agak jauh  tetapi masih tinggal dalam satu kota.

Beruntung masih ada kakak  yang selalu  mengunjunginya setiap pagi dan sore.   Untuk  memantau  keadaannya,  atau sekedar mengirim makanan dan membelikannya kinang.  Kinang adalah semacam jamu penting yang harus tersedia untuk ibu setiap hari. Bagi ibu lebih  baik tidak makan daripada  tidak nginang. Karena seringnya nginang,  sampai sekarang giginya masih kuat dan lengkap. Belum banyak yang tanggal.

Aku adalah anak terakhir. Menurut adat kampung, anak terakhir harus tinggal di rumah waris dan mengurus orang tua.  Namun karena pekerjaan, maka tidak memungkinkan bagiku untuk menetap  tinggal bersama ibu. Kalau lagi banyak waktu  sebulan sekali baru bisa pulang menengok ibu. Tetapi jika banyak pekerjaan dan kesibukan, kadang sampai tiga empat bulan aku baru sempat pulang.

Setiap menengok ibu,  aku selalu dihantui rasa bersalah. Seolah aku membiarkan dirinya menanggung penderitaan hidup seorang diri. Sering ia mengeluh, bahwa seusianya mestinya ada orang serumah yang sedia setiap saat melayani kebutuhan-kebutuhannya. Mencuci pakaiannya,  memasak air, membuatkannya teh hangat, atau membangunkan dirinya ketika mengigau di tengah malam.  

Ibuku sering mengigau saat tidur. Dalam dunia medis disebut sleep paralysis atau orang jawa bilang tindihen. Sering pada tengah malam ia berteriak-teriak dalam  tidurnya. Mungkin ia mimpi buruk. Dalam kondisi ini harus ada yang membangunkan. Walupun pada saatnya ia akan sadar dengan sendirinya.

Pernah suatu saat anak-anaknya berinisiatif untuk mencarikan rewang. Namun ia menolak dengan keras. Menurutnya itu pemborosan. “Bisa  untuk kebutuhan lain” tuturnya.   

Pernah juga suatu saat kuajak ke Semarang, untuk tinggal  bersamaku. Namun seperti orang tua kampung kebanyakan, ia hanya betah beberapa hari. Kemudian beralih ke rumah kakak di kota lain. Sama, ia hanya betah beberapa hari lantas meminta diantar pulang.  Panas, sumpek, dan ora ondan katanya.

Hari ini aku pulang menjenguknya,  kakak mengabari kalau ia sakit. Aku mememenuhi permintaannya, walau bukan hari libur. Walau jarak Semarang Kebumen hampir 200 km, itu bukan halangan untuk tidak menemuinya. Toh tidak setiap hari ia ‘memintaku’ pulang.

“Bukan ke dokternya. Bukan pula ke rumah sakitnya. Apalagi berharap  uang atau  oleh-oleh  darimu. Bukan, bukan itu. Yang penting kamu pulang nak. Seorang anak bisa saja lupa orang tuanya Tetapi seorang ibu, tak sedetikpun bisa lupa akan anak-anaknya. Setiap hari, setiap waktu,  ia selalu menunggu,  berharap anak-anaknya datang menemui. Termasuk aku, ibumu” ibuku berucap setengah menangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline