Corat-coret berita masa lalu. Secuil pengalaman yang patut dikenang. Ketika masih menjadi mahasiswa, penulis sempat bertugas menangani sebuah kepanitiaan. Perhelatan dalam pentas 'Pendidikan Pers Mahasiswa' di Yogyakarta. Populer dengan kenangan 'pers kampus' era generasi X puluhan tahun silam.
Penggalan kesibukan terasa tiada tersisa, mulai pencarian dana, persiapan lokasi, pelaksanaan acara, sampai agenda yang tak terbilang begitu padat. Semua proses berjalan lancar, di sana-sini ada kelebihan yang patut disyukuri dan ada kekurangan yang tak dapat dihindari, dan ini butuh evaluasi. Membutuhkan akurasi yang terukur, baik dari segi ketepatan, kecepatan, dan pengendaliannya.
Masih era baby booming atau Generasi X menurut Karl Mannhein (1965-1980). Generasi yang masih terpesona dengan hiruk pikuknya media massa cetak, surat kabar harian, koran mingguan, buletin, majalah bulanan, radio, dan televisi hitam putih. Membuat berita menggunakan mesin ketik sepuluh jari. Lantas mengirim artikel ke media massa lewat kantor pos via perangko secukupnya.
Sebagai bagian anggota panitia 'Pendidikan Pers Mahasiswa' IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang UIN Suka Yogya. Penulis diserahi tugas menghubungi narasumber sekaligus mencari pembawa materi yang siap dengan makalah sajiannya. Narasumber, pemberi makalah terdiri dari para wartawan senior, rata-rata mereka dari kalangan pimpinan redaksi dan penanggung jawab surat kabar.
Dengan bekal sebagai anggota IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa) Cabang Yogyakarta, penunjukan tugas tersebut diterima dengan penuh semangat sembari berharap, apabila ada kesulitan dan hambatan di tengah jalan, atau kendala yang ditemui, bisa bertanya kepada orang lain terutama kepada pengurus IPMI yang lebih senior.
Tidak pelak, amanat itu diterima seraya melaksanakan tugas dengan baik. Dengan gigih, satu demi satu tugas dilalui, penceramah didatangi. Mereka dihampiri dengan tak kenal rasa lelah. Menghubungi wartawan kawakan tentu banyak lika liku di tengah-tengah kesikbukan mereka. Selain di antara kesibukan mereka, tugas yang tidak bisa ditinggalkan, diantaranya pergi ke luar daerah, dan ini mengasyikkan. Banyak cerita di sana.
Dengan biaya lumayan, akomodasi dan ongkos kendaraan berangkat ke sasaran. Hari pertama menemui Pak Wonohito pemimpin redaksi dan penanggung jawab Harian Kedaulatan Rakyat. Di kantor, beliau tidak ada, lantas ke rumah ketemu sama isterinya, Pak Wonohito sendiri pergi. Tanya punya tanya tentang kesediaan Pak Won lewat isteri beliau untuk mengisi materi 'Bahasa Jurnalistik Persurat Kabaran.' Karena ada sidang di DPA, dan beliau salah seorang anggotanya, maka pemateri satu ini terpaksa diganti.
Penggantinya adalah Bapak Soendoro salah seorang kolumnis dan wartawan ternama, banyak memberikan pencerahan dalam tulisan-tulisannya. Beliau sering memberikan materi 'Cara Membuat Tajuk Rencana' dalam setiap kali pendidikan pers. Syukur, beliau dengan senang hati menerima, karena kebetulan materi 'Tajuk Rencana' sengaja diberikan pada kesempatan itu juga.
Lain lagi sewaktu ketemu Pak Ashadi Siregar, seorang novelis kondang, dalam sebuah karya kolosal 'Cintaku di Kampus Biru' dalam proses film layar lebar waktu itu.
Beliau ditemui ketika ada kesempatan, tetapi ada gelagat untuk menampik kesediaan sebagai pemateri. Alasannya karena kesibukan mengurus film, dan pada waktu yang sama akan pergi ke Kalimantan selama sebulan. Maka materi 'Interpretatif Reporting Persurat Kabaran' dialihkan ke pemateri yang lain.
Tiba saatnya menemui Pak Abdurrahman pemimpin redaksi dan penanggung jawab Berita Nasional, beliau dengan senang hati menerima. Berarti dua langkah terselesaikan.