Kalau hanya jadi pembantu, kamu bantu ibu saja di sini. Ndak perlu ikut orang. Asal sabar saja makan seadanya.
"Belum makan! Aku lapar... "
Kakakku penderita schizhopernia. Dunianya abu-abu. Lambungnya yang terisi makanan, seringkali tidak disepakati ingatannya. Saat ini, belum ada dua jam setelah sepiring munjung ludas dan tandas. Ia minta sepiring lagi.
Tumpukan cucian piring di wastafel aku tinggal. Sepiring nasi dengan seperempat potong dari sebutir telur yang didadar tipis, segera ia suapi rakus. Jika benar-benar lapar, sepiring munjung kedua sama tandasnya. Kadang, sedikit kemanusiaannya yang tinggal, membuatnya menyisakan nasi. Cuilan telur dadar, tidak setara jumlah suapan nasi.
Kebiasaan begini, membuat aku dan ibu bersepakat. Stok beras selalu ada. Meski lauk pauk sangat seadanya, fungsi utama makanan di rumah keluarga ini, mengganjal lapar dari seseorang uanh lebih sering lupa telah makan.
***
Lantai keramik berkilau. Pantulan penjar oranye matahari pagi, sudut pandang yang membuatku sangat suka menyapu dan mengepel lantai saat fajar. Gigih baru saja bangun. Tak ada muka yang dirapu. Rambut yang tak berteman sisir. Baju kusut, yang hanya diganti saat ia mai menuruti teguranku.
Jejak kakinya menyisakan bercak coklat. Ia menyeberang dari kamar kecil di ujung paling belakang rumah, tanpa alas kaki. Meski setapak paving blok juga hanpir selalu bersih, tak urung debu halus menghancurkan kemilau air dan cairan pengepel.
"Kakak, cuci kaki dulu dong. Tuh, lantainya jadi kotor lagi.. "