Tema hari ini cukup sulit bagi saya. Saya muslim, bahkan tinggal di kabupaten dengan persentase penganut muslim di atas 98%. Tepatnya kabupaten Lombok Timur (Lotim). Lahir dan hampir setengah abad di kota kabupaten ini, sosok ustadz yang melekat erat di ingatan saya, masih bernama sama serta belum tergantikan. Ustadz Manhaluddin.
Entah harus bersedih, googling nama beliau sekadar memastikan abjad serta atribusi, tidak berhasil. Belum ada jejak digital.
Ustadz Manhaluddin, guru mengaji saya sejak masih di bangku sekolah dasar. Tahun 80-an. Sekarang pun, beliau masih aktif menjadi Imam Sholat, muadzin, bahkan masih sering pula membacakan 'Berita Keluarga' (pengumuman meninggalnya fulan fulana). Suara beliau lantang, tidak terpengaruh kondisi fisik yang semakin sepuh.
Belakangan, ketika mendiskusikan susahnya menemukan sosok ustadz atau ustadzah panutan di salah satu WAG Kompasianers (tampiasih Kompal :D), tersebutkan nama TGB - Tuan Guru Bajang. MashaAllah, koq bisa terlewat ya.
Nah, beliau inilah yang akhirnya akan saya tuliskan kali ini.
TGB jauh lebih diakrabi, dibanding penyebutan ustadz. Semacam sudah satu kesatuan. Di Lombok, nama Tuan Guru lebih familiar. Termasuk ketika membicarakan para ustadz yang tinggal dan menetap sesuai lokasi pondok pesantrennya.
Contoh sederhana, saya mencoba googling 'Tuan Guru Kapek'. Data yang dimunculkan mesin pencari ini adalah, Pondok Pesantren Al Aziziyah di jalan Kapek, Gunung sari, kabupaten Lombok Barat (Lobar). Contoh lainnya, saat saya diajak almarhumah bude mengaji ke Lombok Tengah, penyebutannya pun mudah saja, 'Tuan Guru Bodak'. Nama pondok pesantrennya sendiri, Pondok Pesantren Yatofa, di desa Bodak, Loteng (loteng).
Kembali ke TGB, tak banyak juga yang bisa saya kutipkan dari pengajian-pengajian beliau. Yang jelas, saya pernah meliput liburan beliau sekeluarga, ke salah satu spot wisata khusus di kabupaten Lombok Utara (KLU). Sudah lama. Tahun 2017 dulu. Waktu itu, beliau juga masih menjabat sebagai Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat).
Sempat terkejut ketika dihentikan dan meminta foto bersama, TGB dan Bunda Erica, tidak marah-marah. Di beberapa titik, mereka bertiga kemudian bertanya ke rombongan wartawan dan blogger (saat itu saya meliput sebagai blogger dari keluarga blogger Sahabat Lombok Taksi), apakah mau mengambil foto lagi atau tidak. Di titik ini, saya meyakini, TGB adalah sosok ustadz yang mengejawantah dalam kesehariannya.