Mari bersama-sama, ' ... menerapkan mindfulness, yaitu momen kesadaran penuh ketika berlatih membawa perhatian penuh untuk apa pun yang dilakukan saat ini'. Irwan Suhanda, Kutipan dari Kompas Com, Agustus (24/2020).
Ramadan 2021 sudah memasuki 10 hari terakhirnya. Tak terasa, tak tertolak. Demikian juga pandemi. Berita serangan gelombang ke-2 berdatangan dari negara itu dan ini. Berita kematian, susah untuk tidak bertanya-tanya, apakah meninggal karena Covid-19? Di lingkungan terdekat kita, terjadi hal sebaliknya. Kabar-kabar bahagia dari yang berhasil sembuh kembali, atau juga telah dinyatakan negatif hasil tes Covid-19 mereka. Ada pula yang mengabarkan kelegaan, proses isolasi mandiri 14 hari mereka usai. Penanda, mereka bersiap kembali hidup normal. Kembali beraktivitas normal.
Suasana kehidupan baru. Bekerja di kantor, atau dari rumah, berinteraksi tanpa bersalaman dan sebagian wajah tertutup masker. Kita menaiki tangga, namun kini tak dianjurkan berpegangan pada pembatas tangganya. Kita memilih naik lift, namun harus berjarak. Di rumah, proses belajar yang dulunya baru akan dilaporkan anak-anak ketika ditanya ibu-ibu mereka, kini malah langsung mereka praktekkan sendiri. Para ibu merasakan mulai dari persiapan, proses inti belajar, sampai pasca pembelajarannya.
Kembali ke quote pembuka tulisan, sebagian besar kita membutuhkan sesuatu yang lebih di era kehidupan baru ini. Salah satunya, mindfulness. Upaya penerimaan-penerimaan. Tentu juga berbarengan dengan upaya optimal menjaga sehat. Lalu menguatkan hati dan tekad, untuk melakukan semua aktivitas. Aktivitas sama, bersama dengan ekstra lainnya, serta dilakukan dengan banyak cara baru.
Vitalitas Gaya Hidup Sehat Di Malam-Malam Lailatul Qadr
Semalam, salah seorang ustadz di masjid terdekat rumah mengingatka nsesuatu. Beliau berpesan, keutamaan 10 malam terakhir Ramadan, sebaiknya dirasakan di masjid. Menurut saya, untuk para bapak-bapak dan lelaki, tentu tak masalah menghabiskan banyak waktu di masjid. Bagaimana dengan para ibu? Atau para gadis?
Umumnya, hari-hari terakhir Ramadan justru kesibukan semakin bertambah. Rutinitas harian ibu-ibu rumah tangga tak lagi pekerjaan domestik, seperti mencuci (memilah baju kotor, mengontrol proses pencucian di mesin, menjemur, mengambil jemuran yang kering, menyeterika, melipat dan menata di lemari pakaian), memasak (baik, saya tidak akan mengulang menuliskan proses dari satu kata 'memasak' :D ), membersihkan rumah, dan seterusnya. Esktra kegiatan, menemani belanja baju baru dan kuliner khusus untuk Lebaran nanti. Tentu juga Me Time, memburu keberkahan malam-malam Lailatul Qadr. Syukur-syukur tetap bisa semangat melaksanakan sunnah-sunnah Tarawih, Witir, Tadarus, serta sunnah malam lainnya.
Bayangkan jika rutinitas di atas terjadi pada seorang ibu pekerja. Sedikit analogi, mungkin bisa meminjam 'paribasan' (ungkapan tradisional) Bahasa Jawa -- Sikil Dadi Sirah, Sirah Dadi Sikil. Ungkapan yang menggambarkan orang-orang yang bekerja keras dengan sepenuh jiwa. Sekarang ini, mungkin mulai terjadi pada para suami. Dulu sebelum pandemi, jam kerja mereka terpaku di kantor. Ketika pandemi datang, sebagian mereka bekerja dari rumah, dan akhirnya turut merasakan sebagian pekerjaan domestik. Satu gaya hidup baru, yang membuat saya mengutip quote di pembuka tulisan ini.
Nah, selain mindfulness, jurus apalagi yang bisa diterapkan agar tetap vital di malam-malam terakhir Ramadan 2021?
Tiga Jurus Ampuh Sukses Sehat Di Sebulan Ramadan
Saya memiliki penyakit bawaan asma. 'Warisan' dari almarhum kakek, dialami pula oleh Ibu saya, kakak sulung lelaki dan kini saya idap sejak tahun 2011. Pernah saya bergantung pada inhaler. Belakangan, saya menyadari, saya justru jadi manja. PD membekal inhaler, saya tetap memakan beragam kuliner pemicu asma. Es bersantan, sate dengan sambal kacang kental, atau seporsi seafood nan lezat. Asma kumat, semprot inhaler, saya kembali bisa bernafas lega. Akhirnya, saya memutuskan hanya stok obat tablet. Saya pun jadi lebih disiplin. Enggan terlalu banyak meminum obat kimia, saya berhati-hati dengan pola makan dan pola hidup. Tidak stress berlebihan. Jika lelah, memilih istirahat dan memakan kuliner yang tidak memicu asma.
Ramadan tahun lalu, kedisiplinan saya takluk pada psikosomatis. Setengah dari total 10 hari batalnya puasa saya, karena terpaksa meminum obat asma, sejam usai sahur.Kadang serangan terjadi siang hari bolong, ada pula yang dua jam sebelum berbuka. Ish, benar-benar momen yang nggak banget. Di tahun lalu pula, saya lihat langsung ditutupnya fasilitas nebulizer di puskesmas. Saat itu, proses nebu dikhawatirkan menjadi jalan penularan virus Corona.