Dong ayok ke Mantar. Negeri di atas awan. Desa budaya yang sarat tradisi dan tentu saja pesona keindahan alam khas perbukitan tinggi. Pemandangan cantik lembah di ujung barat pulau Sumbawa, juga menjanjikan sunrise dan sunset saat berkemah di tempat ini.
Desa Budaya Mantar berada di kecamatan Poto Tano, kabupaten Sumbawa Barat NTB. Saya merasa beruntung akhirnya bisa juga kunjungi destinasi wisata ikonik lainnya di Sumbawa. Di trip dua hari satu malam, misalnya, kita juga akan bisa mengunjungi pulau Kenawa untuk berburu senja kedua. Saya sendiri, mendatangi Mantar sebagai salah satu peserta Jambore Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Lombok Sumbawa. Sekaligus liputan event Festival Pesona Mantar, acara rutin tahunan yang kali ini terselenggara di tahun ketiga.
Poto Tano Lawang Desa
Setiap liputan event ke Sumbawa, saya masih saja tak bosan abadikan Rinjani dan Poto Tano. Gunung tertinggi pulau Lombok memang tampak utuh terlihat di pelabuhan laut Kayangan, Lombok. Namun, jauh dari bayangan saya, di puncak barisan perbukitan sisi kanan Poto Tano lah lokasi dari Desa Budaya Mantar.
Tiba di Poto Tano, jalur lintas utama Sumbawa mengarah dan menyisir sisi barat pulau terbesar di propinsi NTB ini. Jalur sebaliknya jika ingin menuju kota Sumbawa. Dua puluh menit keluar dari kompleks pelabuhan, bus yang membawa rombongan GenPI Lombok sampai di dusun Tapir Dalam. Satu tanah lapang di kampung ini menjadi tempat parkir terakhir, sebelum kemudian berganti naik mobil ranger menuju Mantar.
Andre, sopir mobil ranger santai kemudikan mobil yang membawa enam orang dan belasan tenda serta perlengkapan berkemah lainnya. Sejak blusukan antarkan donasi korban gempa Lombok Agustus lalu, saya masih terbiasa dengan kelok jalan kecil, berliku dan menanjak. Rasa santai yang segera berubah. Tak sekadar kecil, berliku dan menanjak, kini ruas jalan tak lagi beraspal. Cor-coran beton yang seukuran satu mobil, sesekali menanjak hampir 45 derajat! Plus tentunya belokan tajam. Andre tetap tampak santai dan bahkan ringan menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil saya.
Ruas jalan menuju spot paralayang Mantar telah dibuka sejak 2004 lalu, namun baru diaspal dan sebagian jalan beton di tiga tahun terakhir. Nyatanya, Mantar tetap saja didatangi, baik rombongan seperti rombongan saya, juga para abg yang berkemah semalam.
Ongkos mobil ranger mulai dari 20 hingga 35 ribu Rupiah, menyesuaikan untuk Anda yang membawa turis mancanegara. Seperti yang dikisahkan Andre, ia siap 24 jam mengantarkan siapa pun. "Saya pernah diminta mengantarkan tamu saat tengah malam. Mereka ingin berburu sunrise Mantar. Tak masalah. Saya siap mengantarkan kapanpun."
Sunset Hunter
Di rundown Jambore, perburuan sunset dan sunrise Mantar menjadi highlight utama saya. Selepas mendirikan tenda dan berfoto di sekitar titik landar paralayang, juga papan-papan yang tuliskan Mantar, saya bergegas mengarah ke barat. Waktunya berburu sunset.
Sayang sekali, sekitar pukul 16.00 WITA, mendung pekat kelabu tak berhenti bergerak dari arah selatan menuju utara Mantar. Meski tak hasilkan uap dingin setiap berbicara seperti jamaknya udara dingin di ketinggian, saya tetap harus kenakan jaket tipis. Sedikit petunjuk, bahwa jika beruntung dapatkan sunset bercuaca cerah, senja akan tampak di balik siluet Rinjani. Kenyataan awan kelabu yang membungkus saya saat berjalan ke sisi barat Mantar, harapan akan ada momen matahari tetap mengintip dari balik awan, membuat saya tetap bergegas.