Lihat ke Halaman Asli

Muslifa Aseani

TERVERIFIKASI

Momblogger Lombok

[RTC] Dinding Dinding

Diperbarui: 28 Juli 2018   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cred. Shutterstock.

Aku melewati lukisan indah. Sepasang kekasih memadu cinta. Mereka berbisik mesra. Tinggallah, tinggallah. Sesap setiap tetes madu manis ini. Mari memeluk kebahagiaan. Sekarang. Entah nanti. Aku tersenyum-senyum sendiri. Tubuhku turut menghangat. Setiap usapan dan bisikan mesra, terasa juga milikku.

Dinding di belakang lukisan bersaput jelaga. Mataku memaku hanya pada yang indah di lukisan. Tubuhku turut menggelenyar. Bahagia. Jelaga tertiup angin. Setitik abu menancap di kornea mata. Langkahku menggeragap tak berarah. Mataku membuka lagi, satu bidang lain memaku punggungku.

Berbalik arah, mataku yang berair tatapi lukisan kedua. Meja makan besar dikelilingi keluarga besar. Di ujung meja, lelaki dewasa berdasi. Di ujung kanan di samping lelaki berdasi, perempuan dewasa berkulit pucat. Mutiara sebesar manik mata kelilingi leher jenjangnya. Lantas, berturut-turut, sepasang suami dan istri yang lebih muda. Sepasang anak-anak yang sehat berada dekat, duduk di samping mereka. Talam-talam emas berisikan makanan serba lezat. 

Buah-buahan terbaik berada di tengah meja, di lukisan dinding-dinding. Mataku yang berair mendadak terasa sembuh seketika. Perutku menjadi kenyang tanpa makan. Hidupku terasa kaya. Setidaknya ikut merasa kaya.

Dinding di belakang tulisan memerah hitam. Anyir. Hidung dan mataku menolaknya. Kupaksa memaku erat pada keserba-mewahan dan kelezatan dunia pada lukisan. Dinding memerah hitam kini teteskan darah pekat. Aku bergidik jijik. Tetesan mulai menggenang. Panik aku menggegas langkah.

Langkah-langkahku berujung pada dinding ini, dinding itu. Bidang-bidang lukisan serba indah, serba mewah, serba enak, serba nyaman. Lalu dinding-dinding di belakang lukisan menyeretku pada kenyataan-kenyataan. Sisi-sisi menyakitkan pada hidup. Luka-luka  menyesakkan dada. Kulit dan hati memerih tak terkira.

Entah di dinding ke berapa, langkahku memberat. Mataku tak jelas memandang apa dan mengarah kemana. Lalu dahiku berhenti pada satu bidang. Enggan ku mengangkat pandangan. Di hadapan, sosok lusuh menatapku. Di ujung kaki kanan, putriku nan cantik mengutil kerak-kerak koreng. Di ujung kaki kiri, bungsuku nan gagah berperut busung. Nikmat ia jilati nanah dari borok di betisku. Aku terlalu lelah, dahiku terantuk cermin. Keringat dan air mata mengalir di sela retakan.

"Bunda, bangun! Aku harus segera berangkat. Tolong uang lks, uang iuran hari raya qurban dan uang jajanku .."

Cermin berkeping di otakku. Di ujung mata, air mengering menjadi belek. Di awal hari, di lalu lalang siapkan sarapan pagi dan anak-anak memasang sepatu sekolah mereka, tayangan tipi tampilkan kamar para tertuduh koruptor. Kasur-kasur busa, kulkas, sebungkus roti di lemari kayu, pemanggang roti. Di sela salam selamat tinggal anak-anak menuju sekolah, pikirku melayang: di ruang yang sama, setangkup roti bakar dan kopi hitam terbaik menemaniku login ke ibangking. 

Di ketukan sekian digit pin, kupilah sejumlah uang di jumlah digit yang sama. Ah, tujuh digit saja. Anggap hadiah perayaan kemerdekaan negeri.  Satu catatan pendek kusertakan, 'Uang jajan minggu pertama Agustus. Love-Bunda'.

*Selong 28 Juli

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline