Kembali dari Semarang dan menetap lagi di kampung kelahiran saya di empat tahun lalu, banyak hal yang berubah. Jalan-jalan yang melebar, menyebabkan rumah-rumah tetangga yang dulu kerap menjadi tempat bermain, tampak mungil. Pagar-pagar beluntas atau pohon banten berubah menjadi beton atau besi. Tanah-tanah lapang sisakan sedikit tanah berumput, di mana sisanya berupa paving block. Tanah keras yang beralih fungsi menjadi lapangan olahraga. Ada basket, bulu tangkis atau volley. Sebagian ujung yang lain, menjadi panggung, lebih kerap bisu.
Sangat terlihat di kampung saya, Kebontalo, satu sudut tenggara di kota Selong Lombok Timur. Tanah lapang yang saya sebut di atas, bernama Lapangan Nasional. Sekarang, lekat pula sebagai penunjuk lokasi dapatkan serabi terenak di kota Selong. Coba saja cari serabi lak-lak Lombok Timur. Nah, di situ pula salah satu tanah lapang yang lekat dengan kenangan saya di hampir setengah abad ke belakang.
Perubahan berikutnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Di lingkup lebih kecil, kebiasaan-kebiasaan di lingkungan terdekat saya. Hitung saja satu RW atau Rukun Warga. Biasanya terdiri atas beberapa RT (Rukun Tetangga). Bisa juga dihitung kumpulan tetangga dari puluhan rumah terdekat, searah penjuru angin.
Salah satu yang paling terasa, saat Ramadhan tiba. Mengingat kini saya harus memasak sendiri bagi keluarga kecil saya, praktis cukup jarang saya melakukan tarawih di masjid terdekat dari rumah. Sesekali, mengobati kangen dengan kenangan masa kecil, saya menyertai suami dan anak-anak, tarawih atau sholat Subuh berjemaah.
Anak-anak memang selalu menjadi sumber banyak hal, kebahagiaan, harapan-harapan indah, juga kelucuan-kelucuan di bulan puasa. Satu yang masih lekat di ingatan saya, masih dan tentang putra bungsu saya.
Sudah sangat jarang menonton tv, saya agak sangsi dengan perkiraan, satu kebiasaan baru cara membangunkan sahur di tempat saya terinspirasi salah satu programnya. Iyap, anak-anak remaja tanggung, mulai dari siswa SD, SMP dan SMA ternyata kini menjadi 'pasukan' khusus. Pasukan yang bertugas membangunkan semua warga Kebontalo untuk segera Sahur. Tugas yang serius, karena mereka harus berkeliling sekitar 2 gang besar ditambah 5 gang kecil.
Bukan tanpa tantangan pula. Seperti tiga malam lalu, saya yang sudah setengah terbangun, mendengar seorang bapak keras menghardik mereka (khas dengan suara bariton nan berat). Wah, mungkin bapaknya sedang migren ya. Alih-alih senang dibangunkan sahur, bisa jadi beliau yang baru saja mau terlelap, terkaget-kaget dan akhirnya jadi esmosi jiwa. Untung belum puasa, puasa sesebapak gagal batal deh. *eh
Pasukan khusus ini pula yang sukses berperan aktif mendukung gerakan pembelajaran puasa putra bungsu saya. Saat berumur 5 dan 6 tahun, selang 1 dan 2 tahun lalu, pasukan ini menjadi pasukan berani mati saya. Eh, keliru. Tepatnya, Yusuf Alfa (putra bungsu saya), amat sangat terkagum-kagum dengan aksi para pasukan pembangun sahur.
Pukulan --lebih sering tak beraturan, dari ember cat, botol beling, bambu dan entah apa lagi, terasa sangat merdu di telinga Yusuf Alfa. Entah mana yang berikan pengaruh ekstasi lebih besar, keberhasilan menonton langsung 'performance' pasukan ini, atau menikmati langsung 'skill' bermusik mereka. Saya dan suami yang terbiasa menyetel alarm di waktu satu setengah jam sebelum imsak, terkaget-kaget. Jam berapa pun satu pukulan pertama pasukan pembangun sahur terdengar, Yusuf Alfa terbangun bak disengat kalajengking. Jenggirat! Langsung merapat ke jendela, menyibak gorden dan menunggu diam.
"Bunda! Bunda! Lihat! Itu anak-anak yang mbangunin sahur sudah lewat. Cepetan bangun, bunda!"
Ajiiib.