Tiga pagi setelah Rabu abu
Di fajar yang meninggi
Pulas biru samar bersaput tipis putih awan
Seringan kapas
Jejakku menapak titian warna warni pelangi
Kuketuk lembut gerbang abu-abu pekat
Apa yang kau nikmati dari hitam pekat?
Adakah ia sewindu kurang satu purnama dari titian warna pelangi
Putih pias dari biru kristal
Pastel di merah saga darah
Gading menguning di samar kabut
Setombak di pucuk tertinggi dedaunan
Dengarkan kidungku tentang biru mengental pada pekat hitam
Mauku bukan tentang muara segara luka
Akan tiba masa, biru nan samar menjadi candu semua perindu
Sebut semua kata cintaku
Ujung dari secawan nafsu
Ini aku, seringan kapas, jejaki titian warna warni pelangi
Saga memerah, kuning pudar, coklat nan manis
Pilih titianmu sendiri
Dan kupandangimu, masih, dari duniaku sendiri
Jadi Arin, seribu satu pelangi dimatamu yang menari
Lekatkan ia dengan berjuta bintang
Untukku masih enggan berhenti tatapinya, perangkap di detik-detikku setiap terjaga
Karena di ujung negeri
Ada yang masih ributkan warna warni pelangi
Enggan menyatu, merobek setiap batas, latar putih pada merah, hijau, kuning, nila dan banyak warna lain
Mereka yang inginkan pekat merah menghitam
Di wajah, di hati, di negeri bertatah ratna mutu manikam
Berat bagi mereka, hijau rupa-rupa, biru tosca sampai pun biru pekat pegunungan, terpandangi damai
Lalu Arin, lekati setiap pelangi yang kau tatapi
Akan selalu ada aku, merangkai cantik warna warni
Demi kidung damaiku, atas nama sayang dan cinta, pekat di banyak wajah dan hati