Well, judul yang saya pilih terjemah bebas dari kalimat penutup satu gambaran sederhana dari deal besar satu 'raksasa' yang masih merajai dunia digital dan satu sosmed, terutama bagi saya, yang cukup profesional. Microsoft mengakuisisi Linkedin.
Kembali saya mendapati berita besar ini di satu sosmed lainnya --dan sebelumnya memang sering saya gunakan sebagai dasar menulis ulasan terbaru di K ini, cuitan yang dibatasi 114 karakter namun kekhususan serta pergerakan cepat satu tagar (tanda pagar) sangat viral serta mengglobal.
Jujur, perasaan saya saat menuliskan ini mungkin sama dengan perasaan para pegiat sosmed mana pun yang memiliki akun Linkedin. Nano-nano. Campuran dari rasa terkejut, gembira, khawatir atau ada sedikit selipan bangga?
Masih berlatar riwayat kerja saya saat masih di Semarang, pada waktu itu jejaring maya saya masih terbatas yang menggunakan Linkedin. Pertimbangan awal enggan membuat akun ini, keharusan melengkapi detail riwayat kerja dengan 'portfolio' serba formal. Sesuatu yang akan diabaikan dan dianggap 'sok resmi' jika data-data yang sama kita sertakan di akun Facebook, misalnya.
Keengganan yang justru saya abaikan dan tetap aktif mengakses akun ini serta berujung pada buah yang manis. Beberapa kontrak lepas karir menulis saya, saya percayai, terbangun dan teraih justru karena memiliki akun 'profesional' di Linkedin ini. Jika menyertakan riwayat karir yang berpanjang-kali-lebar di lembaran CV (curriculum vitae) terasa terlalu banyak, saat ini berkas lamaran kerja sudah cukup diapresiasi dengan mencantumkan link profil akun Linkedin kita. Nah, di profil inilah, detail tanggung-jawab, alamat-alamat situs kantor, endorse atas skill-skill khusus dari partner kerja atau jejaring profesional kita akan menjanjikan nilai lebih bagi para penyedia lowongan pekerjaan yang sedang kita sasar.
Terbaru, tampilan Linkedin yang jejaring terbesarnya memang berisi kaum pekerja kerah putih, sudah terkesan mirip dengan akun sosmed semiliar umat di Facebook. Kita bisa memilih mengupdate status, entah berisi link tulisan berbayar terbaru (ini kebiasan baru saya), abstract produk utama di bisnis toko online kita, atau sekedar notifikasi kita sudah bekerja sekian tahun di satu perusahaan atau institusi tertentu.
Pembeda utamanya -- masih terutama bagi saya pribadi, tentunya minimalis status baper (bawa perasaan). Sesuatu yang jamak di Facebook. Atau penggunaan nama aneh bin ajaib plus alay. Sosmed formal yang kini sudah memiliki pemilik akun sekitar 400an juta yang tersebar di seantero dunia meniadakan ruang bagi pemilik akun yang tak sama dengan nama lengkap di ID (KTP atau Paspor).
Ah, lantas, apa jadinya jika Microsoft masuk? Duh, bahkan memilih kata yang tepat untuk deal bernilai $26 milyar uang kontan ini saja saya tak juga jadi pandai. Terdekat, pemilik akun Linkedin akan masuk ke jejaring profesional di angka 1,5 milyar pengguna akun gabungan Microsoft dan Linkedin.
Wow dulu saja.
Angka awal di atas bisa jadi hanya batasan tertinggi. Bukan tak mungkin, setengah dari pemilik akun Linkedin justru para pecinta teknologi Open Source. Barisan para pecinta kebebasan berkreasi digital, yang tak masuk di barisan serba 'formal'nya Microsoft.
Saya? Saya cuma penulis oportunis. Memanfaatkan sistem yang prinsipnya paling memudahkan bagi saya. Jika memang ada rezeki, yaaa akan membeli software-software resmi ber-branded. Tapi jika hanya sekedar wadah menulis pelepas uneg-uneg, jika ada yang gratisan, mengapa harus bayar? *Eh