Semakin mendekati hari Lebaran, Baiq tak lagi dapatkan kesempatan pertanyakan warna baru dari rumah besarnya.
(Epilog Aluy 39)
Rasanya seperti mimpi, setiap sudut rumah besar tinggalkan jejak biru dan ungu di mana-mana. Aku tak berani pertanyakan apa pun lagi. Menyadari ibu letakkan warna-warna yang kucintai hampir di sebagian besar rumah besar ini, terasa nisbikan sekian tahun berjarak, rendahkan tembok tinggi di antara kami berdua.
“Aku i’tikaf di mesjid dua malam ya. Kebetulan Galih mengajakku juga. InshaAllah pas malam takbiran kami akan pulang. Put, kukira ibu berusaha sangat keras mencintaimu. Lihat. Rumah besar ini sekarang begitu identik dengan jiwamu.”
Mas Bagas sangat benar. Aku yang sedang menyiapkan pita-pita cantik hiasan kursi ikut edarkan pandang. Nuansa hijau yang tadinya kental warnai setiap sudut rumah kini berganti biru dan ungu.
“Ya mas, Alhamdulillah. Oia, sudah peluk dan cium Alfairuz? Jangan sampai dia rewel karena ayahnya tak pamitan.”
“Sudah. Fairuz meminta dioleh-olehkan kembang api, kemudian lelap lagi. Semoga puasanya di hari-hari terakhir ini bisa sehari penuh.”
“Aamiin. Mas yang hati-hati yaaa. Ingatkan Galih, hari pertama lebaran sebaiknya makan siang di sini saja.”
“Siap…Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam…,” wajah kami berdua sama terhiasi senyum lebar nan hangat.
***