[caption caption="Sumber foto: stripgenerator.com"][/caption]
Di hampir lima belas tahun terakhir, momen-momen pemilu atau pemilukada aka pilkada, saya cenderung satu di antara sekian angka prosentase golput. Tepatnya, singkatan dari istilah Golongan Putih. Pemilih yang memutuskan tidak menggunakan hak suaranya, atau tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) suara namun merusak kertas suara. Entah dengan mencoblos di luar ketentuan atau mencoblos semua calon yang terdapat di kertas suara. Paling ekstrim, samasekali tidak datang ke TPS. Dengan atau tanpa kartu pemilih.
Kembali saya merujuk pada pengertian di web Wikipedia, usia golput ternyata lebih tua dari usia saya sendiri. Gerakan moral yang pertama kali tercetus pada 3 Juni 1971, sebulan sebelum proses pemungutan suara di pemilu pertama di era Orde Baru. Pembeda utama dengan kelompok Golput di dua puluh tahun terakhir, gerakan moral ini (terpaksa) tetap datang ke TPS namun mencoblos di warna putih, bidang luar dari kotak gambar lambang partai di kertas suara pada masa itu.
[caption caption="Sumber foto: gurusejarah.com"]
[/caption]
Bagi saya -- setelah memantau postingan dinding akun sosmed (baca: facebook) di jejaring saya, dukungan Teman Ahok yang konsisten meyakinkan Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI pada Pilkada 2017 setahun ke depan melalui jalur independen tak lagi sekedar aksioma Deparpolisasi semata. Keping lain dari aksioma ini, kemungkinan mengecilnya prosentase pemilih golput.
Aksioma yang terburu-buru?
Belum tentu.
Pilkada DKI 2012, enam tahun sebelumnya, prosentase Golput sebesar 32% dan dijadikan judul mencolok di SINI. Selisih kenaikan hanya sekitar 2% dari jumlah golput putaran pertama di angka 36,3%.
Sekarang, mari menengok konsistensi ikhtiara para relawan yang tergabung dalam Teman Ahok (link FAQ). Saya menggaris-bawahi dua persyaratan utama siapa pun yang secara sadar mempercayakan pilihannya dengan mengirimkan KTP dukungan.
Pertama, KTP yang dikirim HARUS KTP beralamat sah di DKI Jakarta. Dengan sistem e-KTP saat ini, minim resiko penggandaan KTP seperti yang sering diributkan di setiap momen pemilihan langsung.
Kedua, form yang harus ditanda-tangani pemilik KTP harus bertinta basah. Maksudnya? Form bertanda-tangan stylus canggih yang dibenamkan di gadget atau tablet terbaru seharga motor bebek on the road, tidak akan dihitung. Pun formulir online atau via fitur-fitur chat yang femes saat ini juga dipastikan menyalahi ketentuan yang disyaratkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).