Sore biasa dari sekian ratus hari yang biasa. Teras Pak Abu ramai oleh riuh suara dan canda anak-anak. Sebagian besar anak SD, beberapa balita yang disambi rutinitas makan sore, wangi dan putih wajah mereka oleh sapuan bedak sisakan sedikit bekas minyak di seputar mulut. Beberapa abg tanggung memilih duduk di bok, tak jauh dari teras. Di sini sepi nyinyit, yang sibuk hanya jejari dan wajah mereka yang terpaku pada layar HP berbagai warna. Pak Abu pensiunan guru sekolah SD yang terkenal seantero kampung. Bertahan tinggal di rumah besarnya yang berarsitektur Belanda dengan cat putih bersih serta bagian bawah dari tempelan batu kali yang selalu mengkilat. Teras yang luas berisi dua buah kursi kayu panjang, beberapa kursi plastik, tiga baris tembok yang selalu cukup untuk siapa pun tetangganya ingin nimbrung, meramaikan. Setiap sore dari sekian ratus hari yang biasa.
Teras nan luas akan sepi ketika para anak SD serta balita dengan ibu atau bibi pendamping mereka memilih berpindah ke satu rumah lainnya. Rumah Pak Lalu Surtikanti, lebih akrab dipanggil Miq Cung, pemimpin grup Gendang Beleq 'Pewikan Dewa' di kampung ini. Liukan merdu suling, kejutan yang semakin riuh dan ribut karena ditingkahi suara tawa pun tangis para balita ketika 'kenceng' mendadak tertepuk, atau keheningan menggantung ketika padu padan semua alat musik berpadu ritmis.
Di lain hari, masih di sore biasa dari sekian ratus hari yang biasa. Yusuf, Anti, Selma, Widya, Alan dan Rizky, para siswa SD yang sepantaran habiskan waktu, kembali di teras Pak Abu. Sekali ini tak ada para balita, pun para ABG di bok depan. Hanya ada Pak Abu sendiri di sudut barat teras, membaca koran lokal harian, sesekali meningkahi para anak-anak tersebut.
Anak-anak perempuan memilih berdempetan memenuhi kursi kayu panjang di arah sebaliknya dari kursi Pak Abu. Sesekali mereka berbisik sendiri, merasa lucu sendiri dengan keasyikan Pak Abu membaca. Sepertinya gerak-gerik wajah Pak Abu yang mengangkat wajah ketika mengawasi mereka serta kacamata baca yang seolah-olah hendak terlepas dari ujung hidungnya tampak lucu. Yusuf, Alan dan Rizky tak jenak. Tak henti menjawil, mengetes kadar ketahanan geli masing-masing mereka, berpindah sekian puluh kali dari kursi kayu panjang satunya, pun sekian kursi plastik yang kosong tak terduduki. Polah mereka bertiga yang membuat Pak Abu tak konsen membaca.
Sekali waktu..
Brak!
"Hahahahahaha...!"
Teras luas tersebut pecahlah sudah oleh riuh tawa. Alan terduduk di lantai, Rizky dan Yusuf memegangi bersama satu kursi plastik sambil riuh tertawa. Para anak perempuan tak lagi perhatikan Pak Abu, mereka pun tenggelam dalam lautan tawa membahana.
Pak Abu hanya melengos dan menggeleng-gelengkan kepala, "Anak-anak....."
Sekian menit, tawa tetiba terhenti. Sunyi menggantung. Pak Abu kembali mengangkat sepasang matanya, "Apalagi ini..."