Berapa banyak tontonan favorit Anda? Atau tontonan sepanjang masa, dimana Anda tak keberatan samasekali menontonnya ulang, ulang dan terus berulang. Bagi saya, banyak jenis tontonan yang --seringkali-- berujung pada pemikiran yang tak selesai.
Salah satunya, film produksi Hollywood dengan pemeran utama Nicolas Cage.
Saya tidak akan mengulas resensi, tapi lebih ke pemikiran yang saya peroleh setelah menontonnya berulang kali.
Tentu sebagian besar kita masih belum sepenuhnya jenak dari kasus menghilangnya Angeline, si imut di Bali. Terlepas dari penghujungnya, dimana ternyata menghilangnya Angeline karena kasus pembunuhan, ramai wacana bahwa siswi SD 2 ini diculik. Pun kemudian berkembang lagi ke kecurigaan kasus Human Traficking atau penjualan manusia. Di sisi ini saya masih selalu teringat kisah di film besutan Joel Schumacher, meski sudah belasan tahun, benang merah di film ini semacam tak lekang oleh zaman.
Bahwa di banyak tempat di Indonesia, masih sangat rentan dengan intaian para mafia human traficking ini. Bentuknya merupa dan menyaru berbagai cara. Iming-iming gaji tinggi di tanah seberang, janji pekerjaan remeh temeh berpenghasilan setara DP rumah tipe sederhana atau senilai harga smartphone terbaru. Sulit untuk tak tertarik. Beban hidup bertahan seadanya di tanah kelahiran sendiri menyesakkan hari demi hari. Harapan dan mimpi teraihnya masa depan lebih baik dengan penghasilan tinggi, adalah harapan banyak gadis dan pemuda, juga para orang tua mereka.
Saya tak yakin apakah tulisan ini akan sampai kepada mereka yang saya khawatirkan sebagai korban potensial mafia human traficking. Namun saya yakin, sidang pembaca K bisa meneruskannya, dengan berbagai cara.
Sedikit tambahan saran saya sebelum Anda menyebarkan kekhawatiran saya ini, sempatkan menikmati cerita pada film 8 mm ini.
Betapa para mafia mewujud di seribu satu karakter orang-orang di sekeliling kita. Sebutkan saja salah satu profesi, dibaliknya, kita tak pernah tahu. Lantas apakah kemudian jadi harus mencurigai setiap orang? Tidak! Yang saya garis bawahi, mulailah dari lingkungan terdekat kita. Berusaha menghindari karakter-karakter semacam atau menjadi bukan seperti itu.
Misalkan, Pertama, pastikan putra putri kita tetap dalam pengawasan. Siapa saja teman bergaul terdekat mereka. Siapa saja yang bisa kita hubungi, atau putra putri kita hubungi, jika sekali waktu melakukan kegiatan di luar rutinitas harian mereka. Kedua, buatlah kesepakatan-kesepakatan bersama, maksimal batas waktu 'menghilang' seberapa lama untuk kemudian merubah situasinya menjadi situasi bahaya. Ketiga, tekankan bahwa apa pun resiko dari proses 'menghilang'nya, korban yang serba paling adalah dirinya sendiri, dan orang-orang yang dicintainya (baca: orangtua, keluarga dekat).
Sebelumnya saya hanya merenungkan sendiri pemikiran tak selesai yang masih selalu saya dapatkan setiap --kebetulan-- menonton ulang film ini, dan berubah serta memutuskan menghitamkannya di atas putih, selepas menonton Fifty Shades of Grey. Mengapa?