Lihat ke Halaman Asli

Mustafa Ismail

Penulis dan pegiat kebudayaan

Seniman Tak Boleh Berhenti Melatih Kepekaan

Diperbarui: 10 Oktober 2024   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI: Sebuah pertunjukan teater di TIM | Foto: Mustafa Ismail

Ketika memilih berkesenian secara serius, pada 1990, saya banyak belajar dari seniman-seniman senior Aceh. Untuk teater saya belajar secara khusus kepada Junaidi Yacob dan Pungi Arianto (juga jurnalis Harian Analisa di Aceh). Mereka pimpinan Teater Bola, tempat saya bergulat tiap sore, hingga pentas ke mana-mana.

Untuk sastra, salah satunya saya banyak menimba dari penyair Din Saja. Bang Din, yang jauh di atas saya, tentu tidak mengajari saya bagaimana menulis puisi seperti ustad mengajari alif-ba kepada balita, misalnya, "Mus, begini nulisnya,” dst. Tidak. Belajar teknik menulis itu bagian dari proses pergulatan personal saya.

Tapi diskusi dengan Bang Din dan teman-teman lain menjadi bekal penting dalam proses jatuh bangun menulis. Penyair yang bernama lengkap Fachruddin Basyar itu pula yang secara sekilas memperkenalkan sejumlah pemikiran filsafat beserta tokoh-tokohnya. Kata Bang Din, “Belajar filsafat bagi penulis itu wajib.”

Saya kerap nongkrong di Taman Budaya. Sebelum atau sehabis latihan teater bersama Teater Bola, saya kerap mampir ke Meunasah Tuha, yang berada tak jauh dari "mulut" teater terbuka dan persis di samping kantor TBA. Sekarang Meunasah tuha itu tak ada lagi. Di sana, sering banyak seniman duduk-duduk. Lain waktu di Kantin Seniman atau lesehan di rumput di sampingnya.

Dalam obrolan dan diskusi ringan di Meunasah Tuha, kadang bersama penyair Hasbi Burman, Saiful Bahri, dan lain-lain, salah satu hal yang sering ia tekankan: "Seniman harus peka. Melatih kepekaan harus dilakukan terus menerus." Hal serupa saya dapatkan di teater. Di Teater Bola, kami sering latihan meditasi dan gerakan mirip taichi di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, demi melatih rasa dan peka itu.

Dalam berkesenian, Bang Din mewanti-wanti, kepekaan mutlak diperlukan. Seni apa pun. Tanpa kepekaan yang kita lahirkan berakhir sebagai imaji dan kata-kata kosong, tanpa jiwa. Ada orang yang terampil menulis puisi -- jago secara teknis -- namun tidak berhasil "menggajak kita" masuk ke dalam puisinya.

Kenapa? Sebab, yang ia tulis bukan lahir dari kedalaman pergulatan dengan sesuatu hal, tapi hanya merangkai kata-kata. Sehingga puisinya menjadi kering. Ada orang jago menulis secara teknis, tapi kita berhasil menikmatinya lebih dalam, selain wujud gambar itu dan keindahannya.

Menulis puisi tak perlu rumit-rumit. Tak perlu gelap. meskipun hal itu tidak haram. Terpenting puisi itu mampu memikat pembaca atau penikmat begitu ia mulai membaca larik pertama. Ia punya daya magis untuk mempengaruhi pembaca sehinga larut di dalamnya. Bahkan bisa ingat bagian tertentu dari puisi itu.

Tentu saja kepekaan tak hanya penting dalam berkesenian, termasuk menulis. Juga penting dalam kehidupan. Kepekaan membuat kita cepat iba pada kesulitan orang lain sehingga turun tangan membantunya. Kepekaan membuat kita mawas diri: tahu orang tak suka kita, bisa merasa sikap kita digunjingkan, dan seterusnya.

Sehingga dengan kepekaan itu kita bisa mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki diri. Siapa lagi yang bisa menilai kita kalau bukan orang lain? Jika ada lebih dari satu orang "membicarakan" kita, artinya ada yang salah dengan sikap kita. Kalau satu orang mungkin itu soal tidak suka. Tapi kalau lebih dari satu orang ngomongin, kita tidak bisa cuek bebek. Berbahaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline