SAYA pernah berdebat keras dengan seniman Depok, Hanung Muhammad Nur, di sebuah grup. Debat itu cukup panas. Nah, kemarin kami ketemu untuk ngopi di kawasan GDC Depok. Bagaimana ceritanya? Apa saja yang kami bicarakan? Baca sampai habis ya.
Sore itu, Senin, 7 Oktober 2024, saya sedang berada di Jakarta Global University (JGU) di Kawasan Grand Depok City (GDC) untuk melihat pameran seniman Depok, termasuk karya Iman Sembada. Saya tiba di sana sekitar pukul 15.20. Setelah puas melihat pameran, sekitar satu jam kemudian kami beranjak ke warung kopi depan JGU.
Sedang asyik ngopi, penulis Shantined muncul. Ia bergabung dengan kami. Ketika sedang ngobrol di sana, tiba-tiba Iman mengajak ngopi ke tempat lain. Ia barusan menerima pesan instan dari Hanung yang sedang berada di sebuah warung kopi berjarak 1 km dari sana.
"Kita ngopi yuk Bang, diajak mas Hanung di TicToCafe," kata Iman sekitar pukul 17.30. Saya menolak halus ajakannya dengan bilang: “Kita di sini saja duduk-duduk sambil ngobrol.”
Sekitar setengah jam kemudian, setelah kami berada kembali di arena pameran, Iman kembali mengajak. Saya ragu merespon ajakan Iman Sembada. Saya teringat soal perbedaan pandangan kami waktu itu. "Nanti masing-masing merasa ngggak nyaman. Iman dan Shanti saja ke sana," kata saya. "Saya balik."
Tapi Iman berusaha meyakinkan bahwa Hanung orangnya santai. “Gak apa-apa bang. Dia santai kok.” Ujar Iman. Hal serupa disampaikan Shantined. "Mas Hanung orangnya asyik kok bang," ujar Shanti. Saya sempat terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Lalu melangkah ke masjid yang berada di lingkungan kampus.
Setelah itu, kami salat magrib. Habis salat, saya merespon ajakan mereka. “Oke, ayo,” kata saya.
Maka dari lokasi pameran Iman Sembada dkk di JGU itu, kami bertolak ke TicToCafe. Iman dan Shanti masing-masing dengan motornya. Saya ‘mengekor’ mereka dari belakang.
Tiba di sana, Hanung sedang ngopi bersama putranya. Kami bersalaman dan saya mengajaknya duduk di bangku di seberangnya yang lebih lebar. Ia setuju lalu pindah duduk. Ia memilih kursi paling kiri menghadap jalan. Di sebelahnya duduk Shanti, lalu saya. Di depan kami duduk Iman dan putra Hanung.
Betul kata Iman, Hanung santai dan hangat. Tidak kagok sedikit pun. Obrolan pun menjadi cair. Sesekali kami guyonan. Sekitar pukul 19.40 Sihar Ramses Simatupang datang bergabung dan duduk di tengah antara Iman dan putra Hanung.
Ketika sastrawan Sihar Ramses Simatupang datang, Hanung sempat guyon. "Tadi dikirimin peta, Sihar itu gak itu tidak terbiasa baca maps," kata Hanung. Kami ketawa. Tadi, Sihar sempat mengontak saya menanyakan lokasi di mana kami ngopi. Maka, selain menjelaskan ancer-ancernya, saya pun mengirim peta kepada dia.