Lihat ke Halaman Asli

Monica Niken Wulandari

PNS Polri, Musisi, Pengajar, Suka Traveling, Ibu dari Do dan Re, Suka sesuatu yang baru

Kesehatan Mental Anak Lebih Penting daripada Ranking

Diperbarui: 5 Juni 2021   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Ungaran 2019 (Dokumentasi Pribadi)

Pandemi covid telah membawa kita pada tatanan kehidupan yang baru. Secara mendadak semua berubah, gaya hidup, aktivitas yang serba terbatas, larangan ke tempat umum, kegiatan belajar mengajar, termasuk juga istilah baru yang populer yaitu WFH atau work from home. Sebagai orang tua dengan 2 (anak) yang masih SD kelas 2 yang belum begitu lancar membaca dan menulis, serta anak TK, saya dihadapkan pasa situasi yang serba berubah. Saya sendiri bekerja yang jamnya tidak bisa diprediksi, kadang mengajar musik malam hari, sedang menyelesaikan S2, dan harus mengurus anak-anak saya. Sebagai tanggung jawab saya terhadap anak-anak, saya panggil guru les, senin sampai jumat untuk membantu mereka belajar. Anak saya ke dua masih semangat dan lumayan ada peningkatan, berbeda dengan anak saya yang cowok, lebih sering bad mood. Mungkin karena saya tidak mematuhi anjuran pemerintah, bahwa SD harus 7 tahun. Saya pikir belum saatnya dia berpikir terlalu keras. 

Seminggu, dua minggu masih biasa, pada akhirnya mereka bosan di rumah, jenuh, ingin bersosialisasi dan bertemu dengan temannya. Saya hampir tidak pernah pergi keluar komplek kalau tidak penting. Sampai pada suatu saat saya dan suami positif covid. 11 hari kami di rumah sakit dan anak-anak hanya bersama ART yang umurnya belum genap 20 tahun. Sedih, pasti... jangan ditanya lagi. Sepulang dari rumah sakit dan sudah dinyatakan negatif, saya ajak mereka pulang ke rumah Ibu saya dan kami tidur di tenda sambil refreshing di kampung halaman. bermain hanya di kebuh karet yang tidak ada siapa-siapa dan di sawah, untuk mengembalikan kesehatan kami dan mood yang mulai kacau. Sekolah anak-anakpun tertinggal sambil saya ajari semampu mereka. 

Saya orang tua yang tidak mau memaksa mereka untuk bisa membaca menulis atau harus pandai dan ranking 1. Orang tua sayapun juga demikian. Mental anak-anak mulai terganggu menurut saya, sampai saya bawa ke dokter anak, ahli syaraf, rehabilitasi medis dan akhirnya ke psikolog. Diduga anak saya disleksia. Setelah dilakukan serangkaian test, ternyata di luar dugaan, IQ anak saya di atas rata-rata. tentu ini membuat saya kaget sekaligus senang. Saya tidak perlu kuatir terhadap prestasi anak belajar anak saya. Ranking satu bukan tujuan saya menyekolahkan anak saya. Pelan-pelan mulai saya bimbing belajar, tentu kadang saya emosi sebagai manusia biasa. Kembali lagi saya ingat tujuan saya, bukan ranking. Bila memang anak saya tidak mampu menyelesaikan tugas, saya tidak memaksa. Kalaupun tidak naik kelas, saya tidak akan marah karena umurnya memang belum saatnya. Sya lebih memberikan pengertian kepadanya, kalau tidak mau belajar, tidak akan pandai dan mungkin tidak naik kelas, saya tidak marah, tapi nanti kalian malu atau tidak kalau tidak naik kelas? Saya lebih sering berkomunikasi dan saya bebaskan mereka berbicara dengan argumen masing-masing. 

Sampai pada titik jenuh yang parah, saya ajak mereka bermain di area bermain suatu Mall di Semarang. Terlihat sekali mereka sangat bahagia dan kegirangan setelah berbulan-bulan tidak keluar rumah. Tentunya tetap dengan protokol kesehatan. Saya larang mereka menyentuh eskalator, cukup pegangan dengan saya dan bapaknya. Hand sanitizer juga tidak lupa. 

Dari kejadian ini saya sadar, mereka butuh mental yang sehat. Pelajaran daring bagi mereka sangat membosankan. Kadang saya ajak ke lapangan atau jalan-jalan seputar komplek, main di kebun, si kecil juga memelihara ayam, mencari ikan di kali. Ketika sore hari tiba saat les, terkadang mood mereka juga tidak menentu. Akhirnya saya mengikuti ritme mereka. Terkadang belajar sambil bercanda dan bermain. Pada akhirnya anak lelaki saya tidak mau les, yang dia butuhkan adalah orang tua. Saya harus berpikir keras membagi waktu untuk bekerja, menyelesaikan tugas kuliah, menemani anak belajar. Dari peristiwa pandemi ini saya begitu banyak belajar terutama tentang kesabaran. Tidak memaksakan kehendak. Belajar mendengarkan apa yang dirasakan anak-anak. Mereka sangat kritis dalam segala hal. Kami lebih sering berdiskusi tentang apapun, dan menambah kegiatan yang menyenangkan walaupun dirumah, termasuk mengajarkan mereka bermain kartu bridge yang secara tidak langsung mereka belajar berhitung dengan senang. 

Kesehatan mental mereka adalah prioritas saya. Belajar bisa dari berbagai media, tidak harus dari sekolah. Tentunya tugas-tugas sekolah tetap berusaha diselesaikan semampu mereka. Anak perempuan saya mulai belajar menggambar dengan lebih baik, saya biarkan dia menggambar sesuai imajinasinya, terkadang saya berikan latihan berhitung pertambahan. Bila sudah mulai bosan, saya bebaskan bermain sesuai hobby mereka. Bermain lego pun juga bisa melatih otak anak-anak. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, selama itu tidak kriminal. Hal negatifpun ada hikmahnya untuk pembelajaran mereka. Selamat memasuki tatanan kehidupan yang semakin rumit ini Nak. Jadilah seperti apa yang kalian bayangkan dan senangi. Ibumu hanya bisa mendukung dan mengarahkanmu. Hidup bebas dan bahagialah, itu yang terpenting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline