Lihat ke Halaman Asli

Jangan Menganggap Allah Lalai atas Rezekimu

Diperbarui: 15 Agustus 2024   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.app.goo.gl/Qosxb9TYPmcdXeoK7


Dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika dan tantangan, kita seringkali dihadapkan pada berbagai situasi yang menguji keyakinan dan keteguhan iman kita. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, dengan segala tuntutan dan godaannya, tak jarang kita merasa terombang-ambing dalam lautan keraguan dan kecemasan. Namun, ada sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab yang dapat menjadi pegangan dan pengingat bagi kita semua:
"لا تحسبن الله غافلا على رزقك، ولكن غفلت على واجباتك إليه فغفلت به"

Yang artinya kurang lebih:
"Janganlah engkau mengira Allah lalai atas rezekimu, tetapi engkaulah yang lalai atas kewajibanmu kepada-Nya sehingga engkau pun terlalaikan."

Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam dan multidimensi. Mari kita telusuri bersama-sama, lapisan demi lapisan, untuk memahami esensi dan relevansinya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pertama-tama, kalimat ini mengingatkan kita akan sifat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memelihara. Dalam hiruk pikuk kehidupan, kita terkadang merasa seolah-olah Allah telah melupakan kita, terutama ketika kita menghadapi kesulitan atau kekurangan. Namun, ungkapan ini dengan tegas menyanggah anggapan tersebut. Allah tidak pernah lalai atau lupa. Dia senantiasa memperhatikan dan mengatur rezeki bagi setiap makhluk-Nya, dari yang terkecil hingga yang terbesar.

Konsep rezeki dalam Islam sendiri sangatlah luas. Ia tidak hanya terbatas pada materi atau harta benda, tetapi mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kesehatan, ilmu pengetahuan, ketenangan hati, keluarga yang harmonis, persahabatan yang tulus, bahkan udara yang kita hirup setiap detik -- semua itu adalah bentuk rezeki dari Allah. Maka, ketika kita merasa kekurangan dalam satu aspek, mungkin kita sedang dilebihkan dalam aspek lainnya.

Lebih jauh lagi, ungkapan ini mengajak kita untuk melakukan introspeksi diri. Alih-alih menuduh Allah lalai, kita justru diingatkan akan kelalaian kita sendiri terhadap kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya. Ini adalah sebuah ajakan untuk melihat ke dalam diri, mengakui kelemahan dan kekurangan kita, serta berusaha untuk memperbaiki diri.

Kewajiban seorang hamba kepada Allah bukanlah beban, melainkan jalan menuju kebahagiaan hakiki. Ibadah, dalam pengertiannya yang luas, tidak hanya terbatas pada ritual-ritual tertentu, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Setiap tindakan yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah adalah ibadah. Bekerja dengan jujur, menuntut ilmu dengan tekun, berbuat baik kepada sesama, bahkan tersenyum kepada orang lain -- semua itu adalah bentuk ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.

Namun, dalam kesibukan hidup sehari-hari, kita seringkali terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa akan esensi dari kewajiban-kewajiban tersebut. Kita mungkin masih melakukan shalat lima waktu, tetapi hati kita tidak hadir. Kita mungkin masih berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi tidak merasakan makna spiritualnya. Kita mungkin masih berzakat, tetapi tidak disertai dengan rasa syukur yang mendalam. Inilah bentuk kelalaian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut.

Kelalaian ini bisa jadi berakar dari berbagai hal. Mungkin kita terlalu sibuk mengejar target duniawi sehingga melupakan tujuan akhirat. Mungkin kita terlalu fokus pada kekurangan yang kita miliki sehingga lupa mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Atau mungkin kita terlalu cepat putus asa ketika menghadapi cobaan, sehingga lupa bahwa di balik setiap kesulitan ada hikmah yang tersembunyi.

Ungkapan ini juga mengandung pesan tentang hubungan sebab-akibat antara kelalaian kita terhadap kewajiban dan kelalaian kita terhadap Allah. Ketika kita lalai dalam menjalankan kewajiban, secara tidak langsung kita juga telah melalaikan Allah. Ini karena kewajiban-kewajiban tersebut adalah bentuk komunikasi dan koneksi kita dengan-Nya. Shalat, misalnya, bukanlah sekadar ritual fisik, tetapi merupakan momen intim antara hamba dan Tuhannya. Ketika kita lalai dalam shalat, kita sebenarnya telah melewatkan kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta.

Lebih dari itu, kelalaian terhadap kewajiban juga dapat membuat kita semakin jauh dari kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup kita. Ketika kita terlalu fokus pada urusan duniawi dan melupakan kewajiban spiritual, perlahan-lahan kita akan kehilangan sensitivitas terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita. Padahal, alam semesta ini penuh dengan ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan keagungan-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline