Lihat ke Halaman Asli

Om Lihin

Guru yang suka menulis

Ketika Mayoritas Hanya Diukur dengan Kuantitas

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1351866287199165915

Beberapa pengamat menilai, rawannya konflik di berbagai daerah dipicu akibat kesenjangan ekonomi antara penduduk pribumi dan pendatang. Kedatangan penduduk non-pribumi sudah bisa dipastikan untuk memperbaiki taraf hidupnya di negeri orang. Dengan tekad besar ini kemudian menjadi penyebab utama keberhasilan. Berbeda dengan penduduk pribumi, mereka tidak bisa melepaskan kebiasaan mereka, dan samarnya tekad akan kehidupan yang lebih baik. Dari beberapa daerah yang sempat saya kunjungi menunjukan dominasi penduduk non-pribumi. Palu, didominasi pendatang dari Bugis, Gorontalo, Sorong, Balik Papan juga demikian. Makassar mulai didominasi pendatang dari Jawa dan Tionghoa. Dan masih banyak daerah yang menunjukan hal demikian. [caption id="attachment_207192" align="aligncenter" width="570" caption="Ilustrasi. Sumber: setara-institute.org"][/caption] Fakta ini bukanlah sesuatu yang salah di era pasar bebas ini. Namun, hal ini bagi saya juga akan menjadi pemicu kerawanan konfik. Kok??... yah, Berawal dari pemahaman makna pluralitas, persamaan, mayoritas dan minoritas menjadi keliru dikarenakan cara mengukurnya keliru. Mayoritas dan minoritas selalu saja dinilai dari kuantitas. Sebagai contoh, umat Islam dinilai sebagai mayoritas, karena jumlahnya (secara kuantitas) lebih dari umat beragam lain. Ahmadiyah, Syiah di Sampang dll, dinilai sebagai minoritas. Begitu pula sebaliknya. Apa ini salah?... Tentu saja secara umum tidak. Namun, alangkah eloknya jika kita mencoba mengukur mayoritas dan minoritas itu seperti terbagi dua-nya metodologi dalam penelitian, kualitatif dan kuantitatif. Kulaitas yang penulis maksud di sini, adalah kemampuan, penguasaan, pengaruh, kepemilikan, dan mungkina hal lain yang bisa menggerakkan sesuatu yang besar secara kuantitas. Seorang bapak dalam satu rumah tangga adalah minoritas secara kuantitas, namun menjadi mayoritas secara kualitas. Ketika bapak yang sebenarnya mayoritas melakukan kesalahan maka akan mendapat tanggapan dari minoritas. Jika sang bapak dinilai sebagai minoritas kalah itu wajar secara kuantitas. namun jika dinilai tertindas, ini yang patut ditinjau ulang. Di Berbagai daaerah di Indonesia, penduduk pribumi tentu lebih banyak secara kuantitas. Namun, apakah mereka bisa dikatakan sebagai mayoritas dalam sudut pandang ini?, saya kira belum tentu.... Kita bisa lihat di beberapa daerah, siapa yang mendominasi secara kualitas? masalah ekonomi, kepemilikan, penguasaan, dan pengaruh dll. Freeport di Papua sana. Kemenangan Jokowi-Ahok, (baca tulisan saya di sini), dan masih banyak contoh lain. Keadaan besar secara kuantitas, namun tak bisa berbuat banyak, dan bahkan KALAH dari sesuatu yang mayoritas tapi berjumlah sedikit secara kuantitas, akan memicu emosi dan gejolak baru. Dengan mudah mereka yang pribumi itu mengatakan, "ini punya kita", karena kepunyaan itu dimiliki oleh mereka yang sedikit. "ini daerah kita", karena mereka tidak lagi bisa BERKUASA. Bisa dikatakan ini cuma masalah paradigma, namun apakah sistem tidak bisa membentuk itu, setidaknya dalam kesan...??. Mudah2an bisa... :) @asKursiMangut2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline