Lihat ke Halaman Asli

Om Lihin

Guru yang suka menulis

Dialektika SARA Pilkada DKI

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13473649301248509201

Tahun 2003 silam, Rhoma Irama melabrak wanita asal Pasuruan, Jawa Timur, Inul. Kala itu Rhoma, mengatakankepada Inul untuk tidak menjadikan kebebasan ekspresi sebagai tameng"goyang ngebor" saat pentas.

Konon, Inul tidak bisa berbuat apa-apa. Inul cuma bisa menangis sesenggukan dan tak melawan. Gus Dur tampil dan menyayangkan sikap Rhoma. Rhoma dianggap melakukan pemasungan terhadap kebebasan berekspresi seseorang. Padahal, kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi.

Tahun 2012, Rhoma menangis ketika dinilai melakukan kampanye menyinggung SARA. Namun, bagi penulis nangis ala Inul berbeda dengan nangis versi Rhoma. Meski dinyatakan secara resmi, bahwa hal itu bukan kampanye, karena tak ada visi misi, anyak yang mengatakan, “ini hukum karma, giliran Rhoma yang menangis. Dst”. Sayang, tak ada satupun yang mengatakan seperti yang dikatakan Gus Dur, itu kebebasan ekspresi Rhoma.

Setelah menang di babak pertama, Jokowi bakal tak melenggang mulus di babak ke dua. Penilaian pribadi penulis ini didasari dari pernyataan beberapa kelompok dan tokoh yang seakanmendukung atau mendukung lawan Jokowi, Foke. Ada beberapa pertanyaan mendasar dari kondisi ini; kenapa mereka (para tokoh), seakan mendukung atau mendukung Foke, bahkan sebelumnya melawan Foke mentah-mentah?. Ada bias tersembunyi tak mampu dan sulit diungkapkan, kecuali dengan untaian alasan klise. Apakah yang tersembunyi itu SARA?

Dalam situasi kampanye ria, mendefinisikan SARA menjadi sulit. Pernyataan (terutama dari orang yang memiliki fans banyak), akan mudah dinilai SARA. Sebut saja pernyataan Ust Yusuf Mansur di akun twitternya soal pemimpin yang amanah. Tetapi kicauan ini lantas dikaitkan dengan kepemimpinan Jokowi di Solo para pengguna twitter.

Kicauan ini langsung mendapat respon dari account yang selama ini membela Jokowi dengan nada menghina Yusuf Mansur. Seperti misalnya, “@kurawa: tapi ingat tad substansi&timing anda bcr spt itu jgn pikir kita ini bodoh” yusuf hanya menjawab “wooo… Maaf ya. Maafin saya. Ga mikir gitu koq”. @asbabul_junub: Ente dibayar berapa sama Foke? ustad abal2 ente nih” kemudian dijawab dengan santai “(Maksudnya? Saya paham, pasti ttg tweet saya ya? Itu universal Pak),” balas YM sebutan nama Yusuf Mansyur.

Jika sebelumnya, penilaian Rhoma tentang Jokowi adalah hoax, pasangan dari PDIP dinilai sekuler ini, bisa jadi ada benarnya. Dalam salah satu media online, post bulan Juli dikatakan, ”Ahok mengatakan bahwa,”Kita tidak boleh taat pada ayat suci. Kita taat pada ayat-ayat konstitusi,” di salah satu stasiun televisi swasta. Pernyataan ini disampaikan dalam acara debat dengan pasangan calon pemilihan gubernur DKI Jakarta. Pernyataan ini bahkan membuat Habib Salim Assegaf mengaku tersinggung. Ia pun curiga dengan kepemimpinan Ahok.

Hati seseorang tiada yang tahu. Kita hanya bisa membaca gejala dari apa yang dilakukan sesorang. Keberpihakan tokoh sekelas Amien Rais, bukan tanpa alasan. Haluan 180 derajat PKS layak dipertimbangkan. Serangan gelombang sekularisasi di Indonesia juga bukan tanpa bukti. Hanya waktu yang bisa membuktikan semua, apakah giliran pasangan Jokowi yang bakal menangis, dengan nangis berbeda. Kita tunggu saja.

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. At-Taubah: 82)

Sumber 1

Sumber 2

Gambar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline